070612

Saya bertanya-tanya, Tja.

Mantera apakah yang terkandung dalam namanya, sampai saya dibuat tergila-gila karenanya? Dia tak lebih dari kamu, sampai saya mendengar namanya. Sesuatu dalam tubuh saya bangkit.

Saya tak mengerti, Tja.

Mungkin karena saya baru pertama mendengar nama itu. Tapi banyak juga orang lain dengan nama unik yang tak pernah saya dengar sebelumnya, dan tak memberikan sensasi seperti yang satu ini. Rasanya ada listrik yang menjalari tubuh saat dia pertama kali menyebut nama itu.

Jangan marah, Tja.

Saya juga menyukai namamu, kok. Sudah tiga kali saya menyebutnya di sini. Sedangkan nama itu belum pernah saya sebut sampai sekarang. Rasanya berbeda saat menyebut namamu dan namanya.  Saat menyebut milikmu, yang saya bayangkan adalah wajahmu. Wajah dari seorang yang berarti bagi saya. Tapi saat namanya disebut, tidak ada bayang apapun yang muncul. Hanya sensasi aneh di dalam tubuh. Membuat saya ingin merengkuh, ingin menjamah, ingin merasai. Nafsu birahi.

Jangan cemburu, Tja.

Kepadanya hanyalah nafsu semata, itupun karena namanya, bukan orangnya. Kepadamu cinta platonis sejati, bukan nafsu hormonal. Saya mencintaimu apa adanya, dari luar maupun dalam. Kepadanya, saya hanya ingin menyetubuhi. Supaya bisa saya jeritkan namanya dalam pekik orgasme, supaya bisa saya desahkan namanya dalam gelutan birahi. Ah, saya tak mengerti, saya sungguh tak mengerti. Mengapa bisa seperti ini.

Manterakah namanya itu, Tja?

Ataukah ada kenangan lain yang tersimpan dalam tubuh ini akan nama itu? Suatu ingatan dari masa lampau yang tak terkikis arus waktu? Saya tak mengerti, saya tak mengerti. Mengapa bisa saya jatuh cinta seperti ini, hanya karena sebuah nama?

Jakarta, 7 Juni 2012
Lara yang jatuh cinta pada sebuah nama.

Nyanyian Sumbang

Malam ini kau menyanyi lagi, mengisi gelap dan sunyi dengan nada-nada sumbang itu. Mulutmu tak henti bergerak, telingaku tak bisa berhenti mendengar. Sejujurnya aku tak ingin mendengar suaramu saat ini. Hariku tak enak, pikiranku kalut. Dan nyanyianmu membaurkan keduanya jadi malapetaka. Tapi kita hanya berdua, dan telingaku tak bisa tuli mendadak. Terpaksa kudengar nyanyianmu, tentang hidup dan ajal.

**
Hidup adalah musuh, katamu. Dia menjebakmu dalam lingkaran setan, memutarmu dalam derita dan duka. Diserapnya semua kegembiraan dari matamu, menarik mulutmu terus kebawah, sampai kau lupa apa itu senyuman.

"Dunia ini begitu hitam, sayang. Tak ada warna yang menyegarkan mataku. Begitu gelap, begitu kelam" bisikmu lirih, mengawali bait-bait panjang nyanyianmu hari ini.

"Entah duniamu yang memang hitam semua, atau kamu yang mendadak buta sekarang." balasku datar, "Kita tinggal di dunia yang sama. Mataku dapat melihat warna. Orang lain dapat melihat warna juga. Kalau kamu hanya melihat hitam, tandanya kamu adalah orang buta.".

"Alam ini juga alam yang jahat, sayang. Tidak ada hal baik yang bisa terjadi di atasnya. Semua bunga tumbuh untuk layu, dan burung-burung menyuarakan kematian. Orang hidup di atas tanah, dan menyiramkan darah untuk diserapnya. Kita berdiri di atas tanah darah, bukti kebuasan makhluk-makluk yang hidup di atasnya. Aku takut, sayang. Aku takut. Menakutkan sekali berada di sini.".

"Kita bisa pindah kalau kamu mau. Beritahu aku, tempat mana di atas muka bumi ini yang menurutmu bukan tanah darah? Ke ujung duniapun akan kuantar bila kamu mau.".

"Tidak ada, sayang, tidak ada. Semua yang ada di muka bumi ini telah ternoda darah. Manusia menyiramkan darah ke semua tempat. Menakutkan, sungguh menakutkan. Dalam darah tersimpan duka dan kesedihan, ketakutan dan kegelisahan. Sekarang semuanya menyebar di atas muka bumi ini. Semua tempat meluapkan bau sedih dan takut, bau duka dan gelisah. Menakutkan sayang, sungguh menakutkan.".

"Oh? Baumu pun bau duka dan ketakutan, kesedihan dan kegelisahan. Apalagi yang kamu takutkan? Tak ada lagi, seharusnya. Tak ada."

"Aku takut, sayang, aku takut. Kalau kelak aku tak bisa menyanyi lagi untukmu seperti saat ini. Menyanyikan perasaanku, supaya kamu bisa mengerti, supaya kamu paham. Hidup telah mengambil segalanya dariku, kemudian mengisi kekosonganku dengan segala macam duka. Hanya nyanyian ini yang tersisa untukku, kebahagiaan kecilku satu-satunya. Dan akan terus kubagi untukmu, sayangku.".

Dia melanjutkan bernyanyi, memecah malam dengan suara tinggi menyayat. Melankoli adalah nadanya, dan duka lirik yang mengisinya. Aku harus mendengarkannya, karena kami hanya berdua. Ia benci menyanyi sendiri tanpa pendengar. Oh, betapa aku ingin menjadi tuli saat ini. Tak tahukah penyanyi satu ini, bahwa sebenarnya hidup telah mengambil nyanyian juga dari dirinya, dan menggantinya dengan nada-nada sumbang?

**
Ajal adalah teman, katamu. Karena kepadanya hidup memberikan apa yang diambilnya, dan dia tak keberatan mengembalikan mereka padamu. Menjadikan dirimu seperti semula tanpa meminta apapun. Sungguh ajal yang murah hati. Hanya saja sayang, dia begitu sulit untuk ditemui.

"Tahukah kamu, sayang? Ajal sebenarnya membenci hidup. Kau tak akan bisa menemui mereka bersama-sama, karena mereka akan saling bertengkar satu sama lain. Bila kau bersama ajal, hidup tak akan mengusikmu. Bila kau bersama hidup, ajal tak akan mendatangimu. Tapi dibanding hidup, ajal sungguh teman yang baik sekali. Dia tidak menuntut untuk mengubahmu, berbeda dengan hidup." nyanyimu, dengan nada yang semakin sumbang.

"Mengapa kamu tidak mencari dia kalau memang dia begitu baik? Mengapa kamu bertahan bersama hidup, kalau dia begitu jahat?" kataku mulai kesal, "Cari dan temuilah ajal, kalau itu bisa membuatmu senang.". (Dan menghilangkan nyanyian sumbangmu dari telingaku, selamanya).

"Aku takut, sayang, aku takut." balasmu, "Hidup terlalu kejam. Dia menahanku untuk tidak mencari ajal. Lewat orang di sekitarku, lewat ajaran agamaku, bahkan... terkadang lewat kamu juga, sayangku. Padahal aku ingin bertemu ajal, sungguh ingin.".

"Pengecut. Memang kamu saja yang takut! Kalau kamu berani dan memang mencari ajal, pasti kamu sudah ada bersama dia sekarang! Berhenti menyalahkan hidup!" bentakku, "Sekarang ayo kita cari ajal! Kutemani kalau perlu!". (Supaya kamu tidak bernyanyi sumbang lagi).

"Hidup tidak adil, sayangku, hidup sungguh tidak adil. Mengapa ada orang yang langsung ditemui ajal dan bersama dengannya tanpa perlu mengenal hidup. Mengapa bukan aku saja yang seperti itu? Mengapa aku harus bersama hidup tanpa pernah mengenal ajal? Tidak adil, sungguh tidak adil!" dia terus bernyanyi seolah tak pernah mendengarku, nadanya semakin lama semakin sumbang. Telingaku semakin sakit. Nyanyiannya bertambah kencang. Malam semakin terkoyak. Telingaku semakin sakit. Semakin sakit. Sakit sekali.

"Aku ingin bertemu ajal." lirik terakhir dinyanyikan, dan dia melengos pergi ke dalam kamar. Aku masih terduduk lemas di beranda. Telingaku sakit, kepalaku sakit, dan kupikir moralku mulai sakit juga, Aku terlalu lama mendengar nyanyian ini, dan nada-nada sumbang itu perlahan merusak isi kepalaku. Aku tak tahan lagi, aku tak mau dirusak lebih jauh dari ini. Sebelum aku juga mulai bernyanyi dengan suara sumbang, lebih baik aku membuatnya tak bisa bernyanyi lagi. Selamanya.

**
Malam itu ajal datang berkunjung. Dia berjalan pelan melewati diriku, dan orang-orang kampung kami yang tengah panik. Api besar yang melalap rumahku seolah bukan halangan baginya. Aku dapat melihatnya berjalan masuk, menuju kamar tidur kami, membangunkan penyanyiku, dan mengajaknya pergi. Mereka berjalan menembus api dan puing-puing bangunan, dan menghilang ke balik malam. Menyisakan sunyi, di tengah keriuhan orang yang mencoba memadamkan api.

Tetanggaku menghampiriku sambil menangis, dia turut berduka untuk temanku yang tak sempat keluar rumah karena tertidur lelap. Api terlalu besar untuk diterobos, tak ada yang bisa menyelamatkan. Temanku telah hangus, telah tewas, telah tiada.

Aku tersenyum dan menenangkan ibu tua itu, mengatakan tak ada yang perlu ditangisi. Penyanyiku sebenarnya telah diselamatkan, oleh ajal. Dia tak perlu sedih, tak perlu berduka. Malah seharusnya dia bergembira.

Tak akan ada lagi orang yang menyanyi dengan nada-nada sumbang.
Saya ingin berterimakasih untuk sosok yang mereka sebut sebagai Tuhan. Karena saya pikir hidup bisa jauh lebih menekan bila tidak ada sosok yang bisa dimaki ataupun disalah-salahkan saat tidak ada lagi yang bisa disalahkan. Rupanya saya tidak tahu, bagaimana dia saya tidak mengenal, tapi dia sangat menyenangkan untuk ditimpakan semua kesalahan saat saya tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan keajaiban semesta. Kata orang dia yang empunya semesta. Semesta kemudian menyiksa saya dengan kejutan kecil yang seharusnya menyenangkan, tapi karena ditumpuk pada satu saat yang sama, malah berubah menekan. Kata mereka saya harusnya bersyukur, dengan begitu banyak kebahagiaan yang ditawarkan pada saya. Tapi semua dalam waktu bersamaan. Saya tidak bisa menikmati, saya harus memutuskan.

Padahal saya ingin mencicip semua, saya ingin sungguh senang. Tapi hidup adalah siksaan yang dilegalkan. Saya benci. Saya ingin marah. Saya ingin menuntut. Mengapa saat siksaan dan kesedihan, bisa dia berikan dalam waktu cepat dan berturut, dari satu hari ke hari lain. Semuanya saya cicipi, semua saya coba, duka saya menumpuk. Tapi giliran saya ingin bersenang hati, semua ditumpuk dalam satu momen yang sama, saya tak bisa bersenang sebanyak yang diberikan, tapi saya harus memilih satu. Satu saja dari sekian banyak. Sedangkan derita saya tak  bisa memilih, tapi langsung diberi semua pada saya. Saya ingin marah. Saya benci, sungguh. Tapi saya tak tahu marah pada siapa. Karena itu saya marah pada Tuhan. Maaf. Tapi saya sungguh marah.

Juara Satu

Mungkin kalau ada kejuaraan melarikan diri, saya bisa jadi juara satu. Tak terhitung sudah berapa kali saya lari dari apa-apa saja yang semesta berikan kepada saya. Entah positif entah negatif, saya terus berlari menjauhi.

Karena saya penakut.

Saya terlalu takut untuk menghadapi apa yang tidak saya kehendaki. Padahal bisa saja itu merupakan kejutan manis. Tapi bisa juga itu merupakan petaka maut. Saya tidak tahu, saya tidak akan pernah tahu. Karena saya tidak pernah menghadap.

Karena saya penakut.

Semua bilang, saya harus berhenti berlari dan mulai menghadap. Memberi kesempatan sapaan, dan mencoba berjalan bersama sampai ia yang menyudahi. Kata mereka, tak selamanya saya akan dihampiri seperti ini. Suatu saat mereka akan hilang, dan harus saya sendiri yang mencari dan menghampiri. Itupun kalau mereka mau menyambut saya, mengingat betapa dulu saya menghindari mereka. Jangan takut, kata semua, Kamu tak akan tahu bila tak pernah mengenal. Tapi saya tak ingat, saya tak dengar, saya tak peduli.

Karena saya penakut.

Mungkin bila suatu ketika semesta mengadakan kejuaraan melarikan diri, mereka akan memanggil saya sebagai juara satu. Manusia yang takut keluar dari gua Plato. Mereka akan menyiapkan piala emas, jubah sutera, dan mahkota daun. Bagi saya, si pengecut. Tapi takkan kalian temukan saya di podium, mengenakan semua hadiah itu. Karena saya takkan datang, biarpun undangan telah diberikan.

Karena saya penakut.

dari pengecut yang  menyesal
sudah setengah tahun dan kamu masih bersembunyi?

Jakarta,  2 Juni 2012
2:02 PM