2012
Dari Lara.
terimakasih sudah menampar saya bolak balik, mengangkat dan membanting saya jatuh terjerumus ke dalam tanah. Selamanya menunduk tanpa berani mendongak menatap langit.
Selamanya saya tidak akan berekspektasi apapun lagi.
Terimakasih sudah menampar dan menusuk.
Kalau saya dapat selalu berada di sampingmu, maka biarlah itu yang terjadi. Karena kita sama tahu bahwa sendiri itu mengerikan.
Jangan bersedih, jangan juga mati. Tanpamu, apa jadinya saya?
Where do we go from here?
"In that sense, my life, at least the beginning stages, went smoothly. But I had no idea what my life meant, and that kind of vague thought only grew stronger the older I got. What did I want out of life? I had no idea..."
"... But I had no idea at all what I was aiming at, what I wanted to do... There was no principle guiding me, really- it's just that everybody said tat was the best choice."
Review Film : The Cabin In The Woods
Sampe di rumah salah seorang temen, kita setel lah itu DVD.
Man, ternyata ceritanya bapuk banget luar biasa sampai gua udah gak sanggup berkata-kata setelah nonton. Diawali dengan adegan tidak jelas dua orang kantoran, yang sampe gua dan temen-temen gua kira sebagai bagian dari film lain yang secara misterius berhasil nyelip ke DVD itu. Setelah adegan tidak jelas itu, flm berlanjut. Intinya tentang 5 sekawan yang mau nginep di kabin di tengah hutan. Ternyata kabin itu suatu tempat yang freak banget, digunakan untuk ngebunuhin korban dalam suatu ritual. Intinya, ceritanya berlangsung sangat aneh dan freak sampai otak gua tidak sanggup mengikuti. Tiba-tiba dari thriller berubah menjadi gore yang nggak masuk akal kenapa bisa dan harus kesitu. Gua bukan kritikus atau pengamat film, tapi gua juga tau kalo film ini ketelaluan bapuknya, padahal menurut gua posternya lumayan meyakinkan.
Kalau disuruh kasih rating, dari 1-10 gua kasih 4 deh. 3,5 kalo bisa. Gua sangat tidak menyarankan kalian untuk menonton ini. Untuk alasan apapun.
Oh, kalau mau tau review dan sinopsis soal film ini dengan lebih jelas, silakan banget klik gambar poster yang ada di atas, itu link langsung ke IMDb. Gua sendiri agak bingung kenapa rating situ ngasih 7.6 buat film ini, tapi ya, pandangan ahli sama awam macam gua kan beda, jadi yasudahlah. Silakan dibaca, tapi gua tetap sangat tidak mempersilakan kalian untuk nonton. Daripada rugi dan nyesel, kan?
Kalo masih nekad nonton... Jangan bilang gua gak pernah ngingetin.
Mencari Pelarian
The Runaways
Beberapa hari sebelum saya mulai lari, saya menonton film yang dibintangi oleh Kristen Stewart dan Dakota Fanning ini. Ceritanya tentang band yang personilnya perempuan semua, intrik dan perjuangan mereka. Saya kurang begitu suka ceritanya, tapi tokoh-tokohnya menarik. Tentang bagaimana Chery (Dakota) pergi dari rumahnya, kehidupan biasanya menjadi vokalis band The Runaways. Sisa ceritanya silakan anda nonton sendiri. Tapi saya suka ide meninggalkan rumah dan menantang diri sendiri ini, melakukan apa yang saya mau.
Saya sedang suntuk dengan semua kegiatan yang saya lakukan. Dari kepanitiaan di kampus, teman-teman semua, keluarga, hidup... membuat saya bosan dan muak. 3 kali seminggu menempuh Jakarta-Depok, bertemu itu-itu saja. 7 kali seminggu bertemu orangtua dan adik-adik. Melihat rumah yang sama. Di depan laptop, tidak tahu mencari apa. Membosankan. Mereka tidak salah, tapi manusia memang adakalanya bisa merasa muak dan bosan tanpa alasan kan? Berbekal rasa bosan inilah saya dan seorang teman kemudian merencanakan untuk mengambil liburan ke suatu kawasan kelautan di daerah Jawa Tengah.
Saya mau lari, dari rutinitas, dari kebosanan, dari kemuakan.
Pelarian
Dan akhirnya saya meninggalkan semua yang saya bilang membosankan dan memuakkan itu. Saya mau senang-senang, mau melepaskan beban yang sedang ditanggung ini. Merasa senang, bebas, dan bahagia adalah tujuan utama dari pelarian ini. Apalagi beberapa saat sebelumnya saya baru baca posting blog seorang dosen Filsafat yang saya kagumi tentang bagaimana laut dapat menyembuhkan luka. Ekspektasi saya sangat tinggi. Sepulang dari pelarian ini, saya berharap kembali sebagai seorang yang baru, bersih dari beban luka dan carut marut. Karena saya telah disembuhkan oleh laut.
Tapi ternyata ekspektasi tinggi memang hanya berbuah kekecewaan.
Karena satu dan lain hal yang rasanya tidak etis saya ceritakan di sebuah jejaring sosial, luka saya malah bertambah. Apa yang saya percaya ternyata salah, dan saya harus mencoba membangun semuanya lagi dari awal. Belajar menerima kenyataan baru, dan kemudian beradaptasi. Dari awal saya memang tampak cuek, tertawa-tawa, melawak, menikmati pelarian, tapi di dalam saya mencoba menjahit luka yang sedang menganga. Luka yang rasanya perih sekali saat terkena garam kehidupan.
Tapi dari torehan luka tersebut saya jadi belajar banyak hal, yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh saya.
Kenapa saya tak pernah tahu...
1. Teman itu ada juga yang sekedar pencitraan, bahkan di depan sahabatnya sendiri.
2. Memperoleh status 'sahabat' itu susahnya bukan main.
3. Untuk pelarian yang menyenangkan itu dibutuhkan partner yang benar dan tepat.
4. Masalah itu adanya di dalam diri sendiri.
5. Orang yang sok kuat itu justru adalah yang paling lemah.
6. Dia yang banyak bicara adalah pendusta terbesar.
Jadi akhirnya...
Setelah pelarian tersebut, saya jadi belajar banyak tentang hal yang ternyata melenceng dari pemahaman saya. Biarpun lukanya ada, tapi tawa yang keluar juga banyak. Saya tertawa dan menangis sekaligus. Saya sakit dan sembuh sekaligus. Kacamata saya berubah, pandangan saya meluas. Semua setelah saya lari sesaat dari rutinitas dan pencitraan. Kita memang terkadang harus pergi menjauh, dan mencoba melihat semuanya dari sudut pandang baru yang sebelumnya tak pernah kita coba. Banyak hal yang belum saya tahu, banyak hal yang saya harus tahu. Kalau dengan melakukan pelarian saya bisa tahu lebih banyak....
Saya tidak keberatan melarikan diri lagi entah kemana.
Tapi bersama partner yang berbeda tentunya.
Amuk
Semua dihantamnya, tanpa pandang dosa maupun amal.
Lara benar-benar mengamuk. Berbisik pun dia berteriak.
Sampai Lara pergi ke laut.
Ombak menelan amarahnya.
Dialirkan kemana Lara pun tak tahu.
Lara tak mengamuk lagi. Emosinya diam tak bergerak.
Sebab sekarang ganti lautlah yang marah.
Hantam ombak menampar Lara.
Dalam Hening
"Semuanya?"
"Semuanya. Termasuk saya padamu." kata Batara
Dan hening yang menyahut.
"Tak wajar di sini bukan masalah kelamin." kata Florian
"Lalu tak wajar apanya?"
"Cinta saya akan menyakiti." jawab Florian
"Dalam cinta pasti ada pihak yang tersakiti, itu wajar."
"Menyakiti kamu." ujar Florian
Dan hening pun berkuasa sepenuhnya.
Fragmen #01
Current Obsession
070612
Mantera apakah yang terkandung dalam namanya, sampai saya dibuat tergila-gila karenanya? Dia tak lebih dari kamu, sampai saya mendengar namanya. Sesuatu dalam tubuh saya bangkit.
Saya tak mengerti, Tja.
Mungkin karena saya baru pertama mendengar nama itu. Tapi banyak juga orang lain dengan nama unik yang tak pernah saya dengar sebelumnya, dan tak memberikan sensasi seperti yang satu ini. Rasanya ada listrik yang menjalari tubuh saat dia pertama kali menyebut nama itu.
Jangan marah, Tja.
Saya juga menyukai namamu, kok. Sudah tiga kali saya menyebutnya di sini. Sedangkan nama itu belum pernah saya sebut sampai sekarang. Rasanya berbeda saat menyebut namamu dan namanya. Saat menyebut milikmu, yang saya bayangkan adalah wajahmu. Wajah dari seorang yang berarti bagi saya. Tapi saat namanya disebut, tidak ada bayang apapun yang muncul. Hanya sensasi aneh di dalam tubuh. Membuat saya ingin merengkuh, ingin menjamah, ingin merasai. Nafsu birahi.
Jangan cemburu, Tja.
Kepadanya hanyalah nafsu semata, itupun karena namanya, bukan orangnya. Kepadamu cinta platonis sejati, bukan nafsu hormonal. Saya mencintaimu apa adanya, dari luar maupun dalam. Kepadanya, saya hanya ingin menyetubuhi. Supaya bisa saya jeritkan namanya dalam pekik orgasme, supaya bisa saya desahkan namanya dalam gelutan birahi. Ah, saya tak mengerti, saya sungguh tak mengerti. Mengapa bisa seperti ini.
Manterakah namanya itu, Tja?
Ataukah ada kenangan lain yang tersimpan dalam tubuh ini akan nama itu? Suatu ingatan dari masa lampau yang tak terkikis arus waktu? Saya tak mengerti, saya tak mengerti. Mengapa bisa saya jatuh cinta seperti ini, hanya karena sebuah nama?
Nyanyian Sumbang
**
Hidup adalah musuh, katamu. Dia menjebakmu dalam lingkaran setan, memutarmu dalam derita dan duka. Diserapnya semua kegembiraan dari matamu, menarik mulutmu terus kebawah, sampai kau lupa apa itu senyuman.
"Dunia ini begitu hitam, sayang. Tak ada warna yang menyegarkan mataku. Begitu gelap, begitu kelam" bisikmu lirih, mengawali bait-bait panjang nyanyianmu hari ini.
"Entah duniamu yang memang hitam semua, atau kamu yang mendadak buta sekarang." balasku datar, "Kita tinggal di dunia yang sama. Mataku dapat melihat warna. Orang lain dapat melihat warna juga. Kalau kamu hanya melihat hitam, tandanya kamu adalah orang buta.".
"Alam ini juga alam yang jahat, sayang. Tidak ada hal baik yang bisa terjadi di atasnya. Semua bunga tumbuh untuk layu, dan burung-burung menyuarakan kematian. Orang hidup di atas tanah, dan menyiramkan darah untuk diserapnya. Kita berdiri di atas tanah darah, bukti kebuasan makhluk-makluk yang hidup di atasnya. Aku takut, sayang. Aku takut. Menakutkan sekali berada di sini.".
"Kita bisa pindah kalau kamu mau. Beritahu aku, tempat mana di atas muka bumi ini yang menurutmu bukan tanah darah? Ke ujung duniapun akan kuantar bila kamu mau.".
"Tidak ada, sayang, tidak ada. Semua yang ada di muka bumi ini telah ternoda darah. Manusia menyiramkan darah ke semua tempat. Menakutkan, sungguh menakutkan. Dalam darah tersimpan duka dan kesedihan, ketakutan dan kegelisahan. Sekarang semuanya menyebar di atas muka bumi ini. Semua tempat meluapkan bau sedih dan takut, bau duka dan gelisah. Menakutkan sayang, sungguh menakutkan.".
"Oh? Baumu pun bau duka dan ketakutan, kesedihan dan kegelisahan. Apalagi yang kamu takutkan? Tak ada lagi, seharusnya. Tak ada."
"Aku takut, sayang, aku takut. Kalau kelak aku tak bisa menyanyi lagi untukmu seperti saat ini. Menyanyikan perasaanku, supaya kamu bisa mengerti, supaya kamu paham. Hidup telah mengambil segalanya dariku, kemudian mengisi kekosonganku dengan segala macam duka. Hanya nyanyian ini yang tersisa untukku, kebahagiaan kecilku satu-satunya. Dan akan terus kubagi untukmu, sayangku.".
Dia melanjutkan bernyanyi, memecah malam dengan suara tinggi menyayat. Melankoli adalah nadanya, dan duka lirik yang mengisinya. Aku harus mendengarkannya, karena kami hanya berdua. Ia benci menyanyi sendiri tanpa pendengar. Oh, betapa aku ingin menjadi tuli saat ini. Tak tahukah penyanyi satu ini, bahwa sebenarnya hidup telah mengambil nyanyian juga dari dirinya, dan menggantinya dengan nada-nada sumbang?
**
Ajal adalah teman, katamu. Karena kepadanya hidup memberikan apa yang diambilnya, dan dia tak keberatan mengembalikan mereka padamu. Menjadikan dirimu seperti semula tanpa meminta apapun. Sungguh ajal yang murah hati. Hanya saja sayang, dia begitu sulit untuk ditemui.
"Tahukah kamu, sayang? Ajal sebenarnya membenci hidup. Kau tak akan bisa menemui mereka bersama-sama, karena mereka akan saling bertengkar satu sama lain. Bila kau bersama ajal, hidup tak akan mengusikmu. Bila kau bersama hidup, ajal tak akan mendatangimu. Tapi dibanding hidup, ajal sungguh teman yang baik sekali. Dia tidak menuntut untuk mengubahmu, berbeda dengan hidup." nyanyimu, dengan nada yang semakin sumbang.
"Mengapa kamu tidak mencari dia kalau memang dia begitu baik? Mengapa kamu bertahan bersama hidup, kalau dia begitu jahat?" kataku mulai kesal, "Cari dan temuilah ajal, kalau itu bisa membuatmu senang.". (Dan menghilangkan nyanyian sumbangmu dari telingaku, selamanya).
"Aku takut, sayang, aku takut." balasmu, "Hidup terlalu kejam. Dia menahanku untuk tidak mencari ajal. Lewat orang di sekitarku, lewat ajaran agamaku, bahkan... terkadang lewat kamu juga, sayangku. Padahal aku ingin bertemu ajal, sungguh ingin.".
"Pengecut. Memang kamu saja yang takut! Kalau kamu berani dan memang mencari ajal, pasti kamu sudah ada bersama dia sekarang! Berhenti menyalahkan hidup!" bentakku, "Sekarang ayo kita cari ajal! Kutemani kalau perlu!". (Supaya kamu tidak bernyanyi sumbang lagi).
"Hidup tidak adil, sayangku, hidup sungguh tidak adil. Mengapa ada orang yang langsung ditemui ajal dan bersama dengannya tanpa perlu mengenal hidup. Mengapa bukan aku saja yang seperti itu? Mengapa aku harus bersama hidup tanpa pernah mengenal ajal? Tidak adil, sungguh tidak adil!" dia terus bernyanyi seolah tak pernah mendengarku, nadanya semakin lama semakin sumbang. Telingaku semakin sakit. Nyanyiannya bertambah kencang. Malam semakin terkoyak. Telingaku semakin sakit. Semakin sakit. Sakit sekali.
"Aku ingin bertemu ajal." lirik terakhir dinyanyikan, dan dia melengos pergi ke dalam kamar. Aku masih terduduk lemas di beranda. Telingaku sakit, kepalaku sakit, dan kupikir moralku mulai sakit juga, Aku terlalu lama mendengar nyanyian ini, dan nada-nada sumbang itu perlahan merusak isi kepalaku. Aku tak tahan lagi, aku tak mau dirusak lebih jauh dari ini. Sebelum aku juga mulai bernyanyi dengan suara sumbang, lebih baik aku membuatnya tak bisa bernyanyi lagi. Selamanya.
**
Malam itu ajal datang berkunjung. Dia berjalan pelan melewati diriku, dan orang-orang kampung kami yang tengah panik. Api besar yang melalap rumahku seolah bukan halangan baginya. Aku dapat melihatnya berjalan masuk, menuju kamar tidur kami, membangunkan penyanyiku, dan mengajaknya pergi. Mereka berjalan menembus api dan puing-puing bangunan, dan menghilang ke balik malam. Menyisakan sunyi, di tengah keriuhan orang yang mencoba memadamkan api.
Tetanggaku menghampiriku sambil menangis, dia turut berduka untuk temanku yang tak sempat keluar rumah karena tertidur lelap. Api terlalu besar untuk diterobos, tak ada yang bisa menyelamatkan. Temanku telah hangus, telah tewas, telah tiada.
Aku tersenyum dan menenangkan ibu tua itu, mengatakan tak ada yang perlu ditangisi. Penyanyiku sebenarnya telah diselamatkan, oleh ajal. Dia tak perlu sedih, tak perlu berduka. Malah seharusnya dia bergembira.
Tak akan ada lagi orang yang menyanyi dengan nada-nada sumbang.
Juara Satu
Karena saya penakut.
Saya terlalu takut untuk menghadapi apa yang tidak saya kehendaki. Padahal bisa saja itu merupakan kejutan manis. Tapi bisa juga itu merupakan petaka maut. Saya tidak tahu, saya tidak akan pernah tahu. Karena saya tidak pernah menghadap.
Karena saya penakut.
Semua bilang, saya harus berhenti berlari dan mulai menghadap. Memberi kesempatan sapaan, dan mencoba berjalan bersama sampai ia yang menyudahi. Kata mereka, tak selamanya saya akan dihampiri seperti ini. Suatu saat mereka akan hilang, dan harus saya sendiri yang mencari dan menghampiri. Itupun kalau mereka mau menyambut saya, mengingat betapa dulu saya menghindari mereka. Jangan takut, kata semua, Kamu tak akan tahu bila tak pernah mengenal. Tapi saya tak ingat, saya tak dengar, saya tak peduli.
Karena saya penakut.
Mungkin bila suatu ketika semesta mengadakan kejuaraan melarikan diri, mereka akan memanggil saya sebagai juara satu. Manusia yang takut keluar dari gua Plato. Mereka akan menyiapkan piala emas, jubah sutera, dan mahkota daun. Bagi saya, si pengecut. Tapi takkan kalian temukan saya di podium, mengenakan semua hadiah itu. Karena saya takkan datang, biarpun undangan telah diberikan.
Karena saya penakut.
Exaggerating, isn't it? GAG.
I don't hate human that much actually, I just can't stand them.
Last long weekend, I went to a small town somewhere in East Java. I just want to leave Jakarta's riot which I assume as the main source of my stress. Together with Mom, we went on last Thursday.
The trip was kinda fun, I enjoy every place that we visited there, except for some places that were crowded. I couldn't help but to oppress my desire to kick everyone around me. I didn't know why, but I found that they were annoying. Everything they did, said, even their laugh, it annoyed me to the highest level. Rather than having an ease of mind, I got stressed even more.
I think, to be completely sane and calm, I have to go somewhere that has no people at all. Knowing that it's impossible, so I lower my standard to a place that's not crowded at all. If there should be people there, I wish for the ones who got class and attitude, so they won't bother me. People with no attitude kill me more.
Akhir
Song of My Life : Creep
Procrastinator
Saya sendiri juga seorang prokrastinator, walau lupa mulainya dari kapan. Kalau diberikan pekerjaan, saya akan cari sejuta alasan untuk menundanya, tidak mengerjakannya sesaat setelah diberikan. Kemudian, menjelang deadline, saya baru akan terserang panic attack. Kelimpungan kesana kemari, bingung, bagaimana caranya untuk menyelesaikan tugas yang udah mepet itu. Ya, dari pengalaman, tugas yang saya tunda tidak satu atau dua tugas. Tapi banyak. Dengan deadline yang berdekatan. Saya cuma punya waktu sehari untuk menyelesaikan semua. Kebanyakkan tugas-tugas itu sih selesai, tapi ya tidak maksimal, dan harus saya akui, proses pengerjaannya pun tidak maksimal dan cenderung menekan. Kadang saya menyesal karena sudah menunda-nunda. Tapi ya saya tidak berubah juga.
Sekali prokrastinator, selamanya prokrastinator.
Hidup sebagai seorang prokrastinator juga bukan hal mudah. Individu ini harus memiliki mental baja, yang kuat menghadapi segala tekanan. Juga otak yang kinerjanya cepat dan tangkas, untuk menyelesaikan tugas berbagai jenis dalam waktu bersamaan. Daya tahan fisiknya juga harus kuat, karena cenderung begadang dalam detik-detik menjelang deadline. Saya berani bilang, cuma orang-orang pintar yang bisa jadi prokrastinator (entah pintar beneran atau pintar karena terpaksa). Kalau orang yang agak kurang, tidak mungkin bisa jadi prokrastinator, pasti kacau semuanya. Berdasarkan pengamatan saya terhadap para prokrastinator ini (teman-teman dan adik-adik saya), saya bisa menyimpulkan, "There is a pro, in every procrastinator.". Ada seorang ahli, dalam setiap prokrastinator. Kalau dilihat dari kutipan bahasa Inggris, sebenarnya cuma sebuah permainan kata. Tapi kalau dimaknakan, harus diakui benar. Cuma para ahli yang bisa jadi para prokrastinator.
Hidup.
Parks
'kay, so, this long weekend I accompanied my sister to some parks at Jakarta. She wants to join a photography competition, and the theme is Jakarta town parks. So, last Saturday we went to two parks at Central Jakarta, Taman Menteng and Taman Suropati.
I've been to Suropati once, with my friends. I loved that park, many trees, pigeons, kids, I love it. That time, the park was full with couples. Freakin' couples (yes, I hate couples alot, especially local couples which is just fckin ridiculous for me). I didn't take lot of photos, my sister did. Since it was full of couples, my sister got so grumpy, and asked my father to bring us to somewhere else which has lot of good photo view, not only the fckin freakin couples.
So we went to Taman Menteng. I never been there before, but... it wasn't that bad. Well, that day, seems like lots of people came to the park with the same reason as my sister. Photography. But these guys were funny, the brought some girls as models, and a Ducati. Red Ducati. I was lucky, to spot one freakin' cool Ducati at a park. I wasted my time watching the Ducati girls photography session, while my sister wandered around the park, looking for nice shots. I was enjoying my time, when my youngest brother (5 y.o) came to me and asked me to accompany him to have some shoot for himself. I thought he was just like my sister, he loves to shoot everything with camera. So I left the Ducati, and wandered around the park with him and took some shoots. Here's some by him.
Yang Terkikis
Itu bohong, bohong besar.
Panggil saya pesimis atau apapun, tapi saya bilang menggantungkan harapan setingginya itu ukan suatu yang baik. Baik itu tidak membuat sakit, kan?
Karena saya menggantung harapan, maka saya sakit.
Saya tidak mau berharap lagi.
Belajar Bicara
M
Bayangkan sebuah batu, hitam pekat warnanya. terus, bayangkan batu itu dilapisin cat warna emas. voila! berubahlah sang batu menjadi sebuah emas. emas indah mahal harganya. tapi aslinya hanyalah batu. hitam, pekat, palsu.
nah, teman, batu itu adalah hati. hati yang menjadi pusat segala pikiran manusia. hati yang menunjukkan kebenaran tentang manusia. hati cerminan manusia. dan, si cat emas itu adalah AKU.
aku ini pemanis. pemanis dari sesuatu yang pahit. memang, aku menyebut diriku pemanis, padahal sebenarnya aku adalah akar dari kepahitan. di depan aku terlihat manis, tetapi begitu aku terkuak, pahit yang terasa. jahat memang, tetapi itulah aku. "M"
seperti yang sudah kubahas di atas. aku adalah akar dari kepahitan. herannya, makhluk paling aneh sejagat raya itu tetap saja banyak yang menyukai diriku. beberapa ada yang sadar akan efek dari diriku, tetapi tetap saja mereka memakaiku untuk melapisi hati hitam mereka. beberapa ada yang tidak sadar dan tetap mengoleskan diriku setebalnya di hati mereka. aduh kawan, sadarkah kalian, hati kalian semakin cepat membusuk dengan adanya aku yang melapisi. sudah hitam, pekat, busuk... aih, hati seperti itu selayaknya dihancurkan dan dibuang saja..
**
sumpah ya Tuhan, gak pernah gue berasa sebenci ini ama orang sebelumnya (ga sih, ini bohong. total, udah lebih dari 10 orang yang pernah gue benci dalam hidup ini, lol). yah, intinya, gue benci ama dia. apa sih gayanya itu loh... berasa manis lo heh? ooooh, ya, ya, di muka emang gue TIDAK menunjukkannya, gue terlihat sangat FINE dengan sikap lo. but deep in my heart, girl, haha.TERKUTUKLAH ENGKAU KE DASAR NERAKA *efek suara petir,ctarr ctarr*
"Ups, hai 'M'..."
"Hai." sapa 'M' balik padaku, dia tertawa setelah membaca pikiranku,"Busuk."
"Dari dulu sudah busuk." balasku, aku tersenyum sinis,"3 tahun setelah berteman denganmu, busuklah sudah."
"Sudah kubilang. hatimu akan cepat membusuk dengan keberadaanku. salahmu sendiri ya kalau terjadi apa-apa."
"Sial kau." aku terkekeh mendengar kata-kata 'M', dia benar,"Kalau terjadi apa-apa katamu? semuanya sudah terjadi..."
'M' diam, dia lama menatapku, lalu tersenyum. hatiku terasa pahit mendadak. yah, efek darinya sudah mulai terasa... tersenyum terasa menyakitkan, tertawa terasa miris, berbicara serasa sulit, melihat serasa buta. inikah efek darimu, 'M'? inikah kepahitan yang sudah kau katakan sejak awal kita bertemu? merasakan heningnya dirimu, aku tahu jawabanmu ya.
"Kejujuran itu mahal harganya." 'M' berkata lagi, dia mendekatiku,"Kalau aku boleh membandingkan ya, kami berdua sama-sama emas. hanya saja, aku emas sepuhan yang palsu. dalamku adalah batu busuk yang tak ada harganya dan lebih pantas dibuang. kalau kejujuran itu, emas asli. luar dalam emas. harganya akan tetap mahal, dan pantas untuk disimpan."
"Memang mahal. karena mahal itulah aku tak mau memilikinya." jawabku sambil tersenyum pahit,"Tapi barang palsu memang tak menjamin.. membawa penyakit saja."
"Itu pilihanmu." jawab 'M' sinis,"Aku dan kejujuran datang bersama-sama, kami datang menawarkan diri padamu. bukan sekali saja, berkali-kali dia datang bersamaku. tapi kamu memilih aku. si palsu yang murah ."
"Bagaimanapun juga, kamu terlihat lebih manis, 'M'." kataku pelan, aku mengingat saat-saat dia dan kejujuran datang menawarkan diri,"Kamu manis, menarik, dan lebih mudah dipakai.sayangnya, manis di mulut, tapi pahit di sini." aku menunjuk hatiku.
"Deritamu. bukan tanggung jawabku. resiko ditanggung pembeli." jawab 'M',"Jadi, bagaimana sekarang? masih mau membeli diriku? menyepuh hatimu yang keropos dan busuk itu menggunakan aku?"
Aku dia, menatap sesosok manusia yang tengah berada di hadapanku. tertawa, berbicara, bertingkah laku... MEMUAKKAN. aku membuang muka, mencoba tidak melibatkan diri sama sekali di percakapan itu. tetapi manusia menjijikkan itu mengajakku bicara, menanyakan pendapatku. oh, jangankan berbicara.. melihat mukanya saja sudah ingin kulindas rata dengan buldoser... mendengar suaranya mau kucabut kupingku... melihat tingkah lakunya mau kuikat, kugiling, dan kujadikan makanan ikan dia...
mataku cepat mencari 'M'. hey, teman, di manakah kamu? kemari, aku ingin membeli dirimu. aku mau menyepuh batu busuk ini lagi menjadi emas berkilau. biar pahit biar sakit aku tak peduli. sekali busuk ya busuklah sudah. hey, 'M', di mana kamu?
**
Aku tertawa, dia juga tersenyum. hey, sudah puaskah kamu sekarang? menampilkan tawa palsu itu, pujian palsu, kata-kata palsu? kalaupun kamu merasa puas dan senang, ingatlah hatimu. batu yang tengah kugerogoti itu. semakin lama semakin lapuk, semakin hancur, semakin busuk... kamu senang seperti ini? sadarkah kamu hatimu sakit dengan segala kepalsuan itu? apa ini yang kamu mau? Sadarlah, begitu lapisan emas palsuku ini sirna, hatimu yang busuk itu akan segera terlihat. kamu akan menyesal, sadarilah semuanya.
ngomong-ngomong, jangan salahkan aku kalau waktu penyesalan tiba, kamu berpikir,"Tahu begini seharusnya sejak awal aku memilih kejujuran.". sudah terlambat, kawan. terlambat.
aku ini pemanis. pemanis dari sesuatu yang pahit. memang, aku menyebut diriku pemanis, padahal sebenarnya aku adalah akar dari kepahitan. di depan aku terlihat manis, tetapi begitu aku terkuak, pahit yang terasa. jahat memang, tetapi itulah aku. namaku MUNAFIK
Benci Cinta
benci itu cinta
cinta tidak benci
benci tidak cinta
cinta pun benci
benci pun cinta
benci ada cinta ada benci ada cinta
cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta bencin ta ben cinta benci nta bencintabencintabencintacintabencinta
Namaku "K"
Nama? tak tahu aku. apa 'sesuatu' seperti aku ini layak punya nama? jangankan nama, wujud pasti pun aku tak punya. 'sesuatu' yang tak berwujud, tak bernama, tapi ada. itulah aku. bingung? aku juga.
biar kalian bisa sedikit mengerti tentang aku,coba ku ceritakan saja diriku secara garis besar.
aku tak berwujud. sebenarnya ada, tapi berbeda-beda tergantung di mana aku berada, tapi kalian bisa menemukanku dalam wujud sama di beberapa tempat.
aku ada di semua tempat. tetapi keberadaanku bisa disadari bisa tidak, tergantung kondisi tempatku berada. pada kalian pun, aku juga ada. entah sekarang kalian menyadariku atau tidak. bagaimana sekarang? sudah dapat gambaran?
sekarang aku akan memulainya. cerita tentang diriku, tentang salah satu dari dia yang menyadariku..
**
sebenarnya, keberadaanku ini bisa merepotkan bisa tidak. tergantung bagaimana cara mereka yang kuhinggapi memandangku. aku bisa sama sekali tidak menggubris mereka, tetapi bisa membuat mereka seolah berada di jurang terdalam kehidupan, seperti orang yang mau kuceritakan ini.
sejak awal dia ada, dia bukanlah sesuatu yang bermasalah. dia tidak cacat, keluarganya baik-baik saja, pergaulannya normal, dia bukan murid yang bermasalah di sekolah, dan hidupnya seperti orang kebanyakan. normal, datar, tidak berwarna. apa itu yang membuatnya begitu merasakan keberadaanku?
sebenarnya tidak. dia tahu, aku juga tahu. bukan segala kenormalan dan kedataran itu yang salah. 2 tahun yang lalu, dia sama sekali tidak sadar akan keberadaanku. beberapa kali aku mencoba menyapanya, mengingatkannya kalau aku ada. dia memang merasakanku, tetapi tidak menjadi masalah seperti saat ini. saat itu, aku hanya bisa diam di tempatku berada, melihat dia menikmati hari-harinya dengan senang, tanpa diriku.
tahun-tahun yang menyenangkan itu tiba-tiba lewat. dia pindah, pindah ke suatu tempat yang benar-benar berbeda dari segala kenormalan yang berlangsung. sejak awal dia pindah, dia tahu, sesuatu akan berubah. kenormalan yang dia miliki mungkin hilang, dia akan berubah. entah dari kepompong menjadi kupu-kupu yang cerah, atau malah menjadi ngengat yang suram. dia tidak tahu, tetapi aku tahu akan jadi apa dia.
sekitar setengah tahun setelah kepindahan itu, dia sudah berubah drastis. pertama-tama, dia memang menjadi kupu-kupu. dia senang, gembira dengan lingkungan sekitarnya. dia merasa bahwa hidupnya begitu menyenangkan pada saat itu. keberadaanku terlupakan, benar-benar terlupakan seolah aku tidak ada. dia sama sekali tidak sadar, kalau itu hanya awalnya. dia akan terpuruk, jatuh ke jurang terdalam setelah semuanya. dia tidak akan pernah jadi kupu-kupu itu. dia akan sadar, hujan akan segera turun, dan warna warni itu akan luntur. dia akan sadar, kalau dia sebenarnya telah menjadi ngengat.
setahun berlalu. 'kenormalan' yang sudah terguncang itu kembali terguncang lagi. kali ini bukan karena aku, tetapi karena sesuatu yang lain. yah, biar nanti sesuatu itu yang bercerita pada kalian. ini kisahku, bukan kisahnya. pokoknya, setelah guncangan itu, aku sepenuhnya muncul ke permukaan. dia sadar betul akan kehadiranku sekarang. dan suatu keberuntungan karena aku sudah melekat kuat di hatinya, karena setelah sadar, dia mencoba membuangku. tapi tidak bisa. tidak akan pernah bisa lagi. aku sudah menyatu dengan hatinya, menjadi bagian dari dirinya. mau bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri dariku, tidak akan bisa. hanya kematian yang bisa memisahkan kami.
**
aku menghela napas. pikiranku kosong. otakku kosong. aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. hati ini sudah terlalu lelah untuk merasa, untuk berpikir, untuk apapun juga. capek.
"memang sulit ya hidup kalau bersamaku." suara tak berwujud itu berkata sinis,"Jadi, sekarang apa keputusanmu?"
aku diam dan menatap cutter di atas meja. keputusanku sudah bulat, tetapi masih bulat seperti pacman, alias masih ada keraguan di hatiku. segalanya sudah beres. aku sudah membuat surat yang menjelaskan mengapa aku bertindak seperti ini, segalanya tentang apa yang kupikirkan, kurasakan, dan kuinginkan. sejak aku berubah, aku sadar bahwa tidak ada lagi gunanya aku melanjutkan hidup ini. kalau harus terus tersakiti seperti ini, bukankah kematian akan terasa seperti obat penawar yang kutunggu-tunggu? saat dimana aku tidak akan bisa merasakan apa-apa lagi, seperti yang kuinginkan selama ini.
"Jadinya?" suara itu terus mendesak,"Ayo lakukan kalau kau pikir kau sudah tak tahan lagi denganku. ingat, kita tak bisa terpisahkan sampai mati. kau terus menyembunyikan aku dalam hatimu, membuatku menguasainya sesuka hatiku. kau tak bisa membuangku, melupakanku, atau menghancurkanku."
dia benar. hanya kematian yang bisa memisahkanku dan dia, tidak ada jalan lain lagi. tanpa berpikir panjang, aku mengambil cutter dan mulai menggoreskannya dia pergelangan kiriku. pertama tipis-tipis. sakit. aku berhenti menggoreskannya. rasanya sakit sekali... tapi aku meningat hari-hari yang kulalui beberapa bulan terakhir ini. mengingat perasaan kosong yang begitu menyiksaku, mengingat bagaimana aku membenci melihat mereka yang berkumpul dan tertawa bersama, benci melihat bagaimana aku dilupakan dan tak dianggap. aku mendengus dan mulai menggores lagi. sakit yang kurasakan saat ini tak ada apa-apanya dibandingkan sakit yang setiap hari harus kurasakan, ya, sakit yang bernama KESEPIAN itu. goresanku mulai semakin berani, semakin mendalam, terus, terus, semakin dalam. darah mengalir, menetes berjatuhan dari atas meja ke pahaku. sakit yang pertama kurasakan semakin berkurang, malah lama kelamaan tak terasa apa-apa. apa aku sudah mencapai tahap tak merasa apa-apa
"yep. kau sudah mencapainya." aku sekarang bisa melihat si suara tak berwujud itu. aku terkejut, wujudnya tak lain adalah diriku sendiri,"sekarang kita sudah berpisah. selamat, aku tak akan mengganggumu lagi."
**
Anak malang. dia sama sekali tidak sadar, aku telah menipunya. Aku dan dia masih bisa berpisah, asalkan dia mau memandang hidupnya lebih baik lagi. aku hanya bisa tersenyum kalau mengingat anak ini, bagaimana manusia bisa menjadi begitu lemah dan bodoh sehingga mengakhiri hidupnya hanya karena aku. haha. bodoh.
ngomong-ngomong, anak itu ternyata menyebutkanku juga di surat terakhirnya. memang lecek dan sudah berlumur darah, tapi kedua orangtuanya masih bisa membacanya. saat mendengarnya, aku merasa bahwa memang itulah namaku yang sebenarnya.
Jadi, mari kita berkenalan sekali lagi. namaku "KESEPIAN", aku ada di hati setiap manusia. kalian harus berhati-hati mulai sekarang, sebab mengenalku dapat mencabut nyawa kalian.
Jadi ini sebenarnya karya saya waktu masih SMA. Saya ingat dulu saya baru pindah pertama kali ke tempat baru, dan suasananya terasa masih sangat asing. Saya begitu rindu akan tempat yang lama. Teman saya, seorang yang kebetulan sering merasa begini juga membuat rasa saya semakin besar. Dari kesepian itulah lahir karya ini. Sekarang saya cuma bisa ketawa saja. Apa dulu saya selemah ini?
(bukan) Filsafat #1
Mendefinisikan ‘Manusia yang Bukan Manusia’
Seperti kata Tuhan, semua manusia itu sama. Tapi, itu di mata Tuhan dan mata kaum agamawan. Kalau di mata saya, seorang yang tidak terlalu agamawi, tidak semua manusia itu sama. Mungkin secara fisik, kita sama punya mata, hidung, mulut, telinga, dan anggota tubuh lain. Kita juga sama-sama perlu makan, minum, bernafas, dan juga melakukan kegiatan-kegiatan yang sama. Tapi buat saya, ada beberapa manusia yang tidak sama. Bukan artinya mereka berbeda secara spesies, tapi tetap saja berbeda. Saya menamakan manusia yang berbeda ini sebagai manusia yang bukan manusia.
Jadi ada beberapa orang, yang kebetulan saya baru ketemu di perkuliahan ini, yang membuat ide akan spesies ini tercetus di otak saya. Pertamanya, saya cuma menganggap orang-orang ini agak miring di otak. Soalnya, sejak awal saya masuk jurusan ini (sastra negara Asia yang memang terkenal ‘unik’ penggemar-penggemarnya), saya sudah dikasih tau dan dipersiapkan untuk bertemu dengan spesies baru ini. Saya pikir saya sudah siap, makanya saya masuk dengan percaya diri. Tapi saya salah, yang namanya ‘siap’ itu tidak semudah ini. Bahkan sekarang, setelah saya pikir, saya tidak akan pernah bisa siap sama sekali.
Untuk tidak membingungkan secara lebih lanjut, sekarang akan saya jelaskan sedikit tentang MYBM ini. Ibarat kalian melihat sesame manusia, tapi kalian tidak bisa menganggap mereka sebagai manusia yang benar-benar manusia. Cuma rupa saja sama, tapi isinya bukan manusia. Entah binatang apa atau makhluk halus apa, saya tidak bisa tahu, tapi yang jelas, bukan manusia. Karena anggapan itu, saya jadi tidak bisa memperlakukan mereka sebagai sesama manusia. Saya bahkan tidak mengerti harus memperlakukan mereka bagaimana, sebab binatang bukan, manusia bukan, lantas apa?
Karena itu saya langsung memutuskan untuk tidak mempedulikan sama sekali spesies aneh ini. Mau dibagaimanakan lagi, saya takut bakal salah memperlakukan mereka. Selama satu semester, saya mencoba untuk tidak memicu interaksi dengan spesies ini. Tapi namanya juga satu angkatan, satu jurusan, ya mau tidak mau (tidak mau sama sekali) harus berinteraksi kan.
Dan lalu saya jadi gila.
Sungguh, saya dibuat stress oleh perilaku spesies aneh ini. Tingkah laku mereka sungguhan tidak lazim. Benar-benar diluar akal sehat! Seaneh-anehnya tingkah binatang, tingkah mereka JAUH lebih aneh. Saya semakin yakin, sewaktu diciptakan, Tuhan salah memasukkan roh ke dalam tubuh mereka. Mungkin seharusnya mereka menjadi anjing, tapi eh, kok ya masuk rohnya ke tubuh manusia. Jadinya manusia anjing. Tapi kok ya anjing saja jauh lebih saya tolerir ketimbang mereka, ya saya sudah tidak mengerti lagi deh roh apalagi yang ada di dalam tubuh mereka. Saya pingin bilang itu roh bangsat, roh bajingan, tapi agak aneh, kalau mereka disebut makhluk bajingan atau bangsat. Mereka kan masih merasa tercipta sebagai manusia.
Untuk sementara, sampai detik saya menulis ini, saya masih belum bisa mengerti makhluk macam apakah mereka itu sebenarnya. Tapi satu hal yang saya yakini. Mereka bukan manusia.
Jangan Bilang Siapa-Siapa (Biarkan Saja)
"Gue mau curhat." kata Mita suatu siang.
Lara tersenyum kecil. "Oya? Lu kenapa, Mit?" sahutnya basa basi, biarpun dia sudah tahu apa yang akan Mita ceritakan.
"Soal Dipta." kata Mita dengan suara pelan, sesekali menengok ke kiri kanan, memastikan tak ada seorangpun yang mencuri dengar percakapannya dengna Lara. "Sempah deh, Ra, Gue kesel banget pas ketemu dia kemaren!".
Senyum Lara sedikit melebar. "Kenapa lagi Dipta, Mit? Kok lo bisa-bisanya kesel sama dia, ya? Perasaan gue nggak liat dia di kampus belakangan ini deh.".
Mita mendengus kesal, “Ya karena lo nggak liat, gak berarti dia gak bikin kesel gw kan, Ra! Lo denger dulu cerita gue!”.
Lara, masih tersenyum, mengangguk patuh dan duduk tenang siap mendengarkan. Dari mulut Mita meluncurlah sebuah cerita tentang dirinya dan Dipta, keluh kesah, sumpah serapah, hinaan, dan segala jenis kata yang bisa dikeluarkan seorang yang sedang emosi. Tapi, kemarahan Mita tidak pernah mencapai Lara, karena selama dia berceloteh, kawannya itu sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.
**
“Jujur aja, ya. Gue gak pernah ngerti kenapa lu bisa tahan banget temenan sama Mita.” kata salah seorang temannya,”Apa sih rahasia lu, Ra?”.
“Rahasia apa ya?” tanya Lara berpura-pura bodoh,”Nggak ada rahasia apa-apa kok.”.
Temannya tertawa sinis. “Gak mungkin gak ada rahasia, Ra. You’re the only one who strong enough to face her. Lu gak sadar apa, pas kita lagi ngumpul, dan Mita dateng nyamperin lu, kita semua langsung mencar ninggalin lu dan dia. She got problems, man!”.
Lara diam sesaat, lalu berkata,”I know she got problems. Dan gue juga sadar banget kok lu semua langsung cabut begitu dia dateng. Tenang aja, gue tau lu semua benci dia. I’m fine with it. Gue Cuma menyayangkan aja betapa lu semua melewatkan kesempatan untuk sesuatu yang menarik.”.
Mendengar jawaban Lara, teman itu terdiam. Dia tampak memikirkan sesuatu, sementara Lara tersenyum-senyum sendiri mengingat setiap “keunikkan” Mita. Lara sadar betul betapa mengganggunya Mita bagi semua orang. Gadis itu benar-benar egois, berisik, dan sombong. Dia tidak mau kalah dari semua orang, dan merasa harus selalu menang dari mereka, entah dalam bidang apapun. Semua orang yang telah cukup lama menghabiskan waktu dengannya, perlahan satu persatu akan mundur menjauh. Kalaupun ada sedikit yang masih tahan ada di dekatnya, itu juga Cuma mencari bahan tertawaan atau topik untuk sesi gosip. Cerita tentang Mita selalu diminati banyak orang, saking “unik”nya dia. Lara termasuk salah seorang di kategori ini.
Saat semua temannya pergi menjauh, Lara malah ada di dekat Mita. Baginya, daripada mendengar dari orang lain (yang mungkin melebihkan kejadian sebenarnya), lebih baik dia dengar dan alami sendiri “keunikan” Mita. Semua kebodohan, ketololan, dan keanehan yang bisa Mita lakukan, biarlah dia yang jadi penikmat pertamanya. Biar dia yang paling pertama menertawakan, paling pertama membodoh-bodohi (biarpun dalam hati), paling pertama mengalami, sebelum dia bagikan ceritanya pada orang lain, yang mungkin akan dia tambah-tambahi ceritanya agar semakin menarik. Hampir semua temannya memandang Mita sebagai “gangguan”, dan karena itu mereka akan langsung pergi ketika Mita datang. Tapi, bagi Lara, Mita itu “hiburan”, karena itu dia bertahan, supaya setidaknya hari itu dia bisa tertawa. Juga mensyukuri kenyataan bahwa masih ada makhluk yang jauh lebih bodoh dan menyedihkan daripada dia.
“Gue masih gak ngerti, Ra.” kata temannya,”Gue akuin semua gosip tentang dia itu menarik. Tapi itu kalo didenger dari orang lain. Tapi kalo harus gue alamin sendiri, gue gak yakin masih bisa hidup ato nggak.”.
“Itu karena lu gak mau mencoba menikmati.” Kata Lara santai,”Kalo lu udah tau kebenaran dari semua ceritanya, dan lu mau mencoba menikmati sedikit aja, gue jamin lu gak akan bisa nahan ketawa kalo lagi sama Mita.”.
Temannya tertawa kecil. “You’re insane, Ra. Gue gak akan pernah ngerti jalan pikir lo yang ajaib. Siksaan gitu lu suruh gue nikmatin. Lewatin mayat gue dulu. Tapi ya terserah lu sih. Tanpa orang kayak lu, kita akan kekurangan banget gosip tentang Mita. Silakan nikmaitn saja dia.”.
“Pasti kok.” Lara tersenyum manis, memang dia tidak pernah berniat untuk menjauhi Mita, “Lu gak perlu khawatir. Gue akan tetep ngedengerin dia, dan kalo ada yang lucu gue gak akan lupa ngasih tau ke kalian. Santai aja.”.
Temannya tertawa terbahak-bahak. “Bangsat, bangsat! Emang brengsek ya lu, Ra!” katanya di sela tawa, “Sip lah, gue percaya sama lu! Inget, cerita lu selalu kita tunggu loh!”.
“Jangan khawatir.” Kata Lara, “Kita semua akan terus terhibur kok selama ada Mita.”.
**
“… jadi gitu ceritanya, Ra! Brengsek kan Dipta, iiiiiiih!!! Kesel banget deh gue sumpah!” ujar Mita penuh emosi, matanya mulai berkaca-kaca, “Kesel banget sampe mau nangis, Ra!”.
Lara, tidak mendengar apapun sama sekali, mencoba terlihat simpatik dengan mengucapkan, “Sabar, Mit, sabar. Kalo emang kesel ya nangis aja. Nggak papa kok.”.
Dan memang kemudian airmata mengalir deras di pipi Mita. Seperti ritual yang selalu terjadi, Mita akan menceritakan ulang apa yang dia alami, namun kali ini semakin didramatisir dan ditambah isak tangis serta aksi berlebihan yang biasa orang temukan di dalam sinetron. Lara akan terus berlaku simpatik, biar dia tak sedikitpun peduli. Dia cukup mendengar, mencatat poin penting dan aneh dari cerita itu, sambil menahan tawa sekuat tenaga. Setelah sesi dramatis tersebut, Mita mulai tenang sedikit, dan kemudian pamit pulang pada Lara, ada urusan penting katanya. Masih pura-pura simpatik, Lara akan menepuk pundak Mita, mengatakan segalanya akan baik-baik saja.
“Thanks, Ra! Lo emang sahabat terbaik gue.” Ujar Mita dengan penuh terimakasih, “Btw, please banget jangan sampe cerita ini kesebar ya. Gue malu banget soalnya nangis gara-gara Dipta.”. Lara akan mengangguk sambil tersenyum, melambaikan tangan dan menyaksikan Mita pergi entah kemana. Setelah Mita benar-benar menghilang, Lara akan melepas tawa yang ditahannya sejak tadi.
“Ya kali, oy! Yakin lu malu karena nangisin Dipta? Hahahaha!” batinnya, sambil mengontrol dirinya agar tidak tertawa terlalu keras,”Kenapa gak bilang aja sih, ‘Gue malu soalnya yang gue certain ke lu itu bohong semua, Lar. Kejadian itu gak pernah ada. Gue Cuma lagi pengen bersandiwara aja.’. Hahahaha! Aduh, Mit! Kocak banget sih lu!”.
Mita tidak tahu, kalau selama dia ‘ketemuan dan berantem sama Dipta’ kemarin, Lara sedang ada di rumah sakit menjenguk Dipta, yang sudah kurang lebih tiga hari opname karena demam berdarah. Lara benar-benar salut pada Mita, yang bisa bertemu dengan Dipta di kantin fakultas, sementara anaknya saja tidak boleh pergi kuliah selama seminggu. Mita pikir Lara tidak tahu Dipta, padahal sebenarnya mereka berdua teman akrab sejak SMA. Tapi Lara tidak pernah bilang, dia takut akan kehilangan ‘hiburan’ dari cerita-cerita imajinatif Mita nanti. Lara tahu betul, semua curhat Mita tentang Dipta itu bohong belaka dan berlebihan dari kenyataan sebenarnya. Karena itulah dia tidak pernah menanggapi serius, dan mendengar sambil menahan tawa. Imajinasi inilah yang kemudian akan Lara tertawakan bersama Dipta dan teman-teman lainnya.
Handphonenya kemudian berbunyi, teman-teman Lara sudah menunggu untuk mendengar gosip baru yang didapatnya hari ini. Lara membereskan barang-barangya, kemudian pergi menuju tempat teman-temannya menunggu. Dia tidak sabar untuk tertawa keras hari ini.
Jakarta, 4 Maret 2012
Ini saya benar tertawa, terimakasih untuk naskah dramamu.