cukup satu kata saja
dan saya tahu apa rasanya bahagia
jadi biarkan saja semua mengalir.
saat kau tersadar arus sudah membawamu padanya.

keretakata

saya suka sekali melabil dan menulis terus tanpa henti tentang apa saja yang tengah berkecamuk di pikiran saya yang memang terkadang kacau balau seperti kota yang dihantam angin beliung yang meluncur entah darimana hingga porak poranda seperti benang yang semerawut tak beraturan.

saya suka juga sama kamu yang walau feminim dan tak macho tetapi ramah dan selalu tersenyum menghangatkan hati yang mudah terluka ini sampai rasanya sulit untuk tidak melihat senyummu sehari saja karena tarikan bibirmu telah seperti oksigen bagi paru-paruku serta nasi dan laukpauk bagi lambungku.

saya tidak suka jika ada orang yang tahu saya suka sama kamu sampai sebegitunya karena mulut orang biasanya jauh lebih sakit daripada sembilu yang bisa mengiris daging kerbau untuk makan orang sekampung yang justru dari mulut merekalah sembilu-sembilu tajam kasat mata itu muncul dan beterbangan.

saya suka menulis. saya suka kamu. saya tidak suka orang tahu.

cerita lara

sebelumnya saya tidak pernah berpikir seperti ini, tetapi malam ini ada suatu yang memicu ulang kejadian itu di memori saya. suatu yang membuat saya berpikir lagi, dan yang membuat saya menyadari sumber kekacauan selama ini.

**

Saya tak pernah memikirkan makna pertemuan dengan seseorang. Bila saya bertemu, mengucap nama, dan berjabat tangan dengan seseorang, saya selalu menganggapnya sebagai suatu yang biasa. Manusia adalah makhluk sosial, pertemuan, kontak, dan komunikasi dengan manusia lain adalah suatu yang biasa. Tidak ada yang spesial, semua itu terjadi sebagai rutinitas kehidupan kita sebagai makhluk berspesies homo sapiens ciptaan yang maha kuasa.


Dalam satu siklus kehidupan ini, saya pernah dikenalkan pada seorang manusia. Demi kebaikan, saya tak akan menyebut namanya, sebut saja dia Pemuda M. Oh, dan untuk mempersingkat cerita ini, mari singkat dia lagi sebagai PM. Perkenalan itu berlangsung biasa saja seperti setiap perkenalan lain. Memang tidak ada jabat tangan, sebut nama, dan lainnya. Tapi saya tahu itu dia, dan dia juga tahu itu saya.

Saya paham saya tidak memiliki tujuan apapun untuk perkenalan ini, tidak seperti perkenalan lain yang saya lakukan. Saya mengakui diri sebagai orang yang oportunis, dan itu berarti saya tak akan mau melakukan sesuatu yang kiranya tak akan membawa keuntungan bagi saya. Mengenai perkenalan dengan PM, saya tak berminat melanjutkan sampai menjadi akrab, karena menurut saya, bila menjadi akrab pun tak akan ada untungnya bagi saya. PM bukanlah orang yang bisa saya manfaatkan wajahnya, kantongnya (untuk ngutang dsb), ataupun popularitasnya. Sifatnya pun bukan sifat yang mudah untuk dimanfaatkan, PM orang yang hidupnya kelewat bebas, sampai terkadang saya bingung apa dia benar tak punya beban hidup.


Rencana saya dan rencana Tuhan memang tak pernah bertemu dalam suatu titik yang sama. Saya tak tahu apa yang ada di benak-Nya ketika dia membuat hubungan saya dan PM menjadi semakin erat. Mulai dari mengobrol hal-hal yang remeh sampai menjadi obrolan yang banyak merubah pandangan hidup saya. Di balik tingkah hidupnya yang liar (dalam arti baik) dan bebas, pandangan-pandangan PM mengenai hidup ini jauh lebih dewasa dan matang ketimbang saya. Ketika dia memberikan solusi atas permasalahan yang saya ungkapkan, saya terpana, benar-benar kagum akan kedewasaan yang tak pernah PM tunjukkan sebelumnya. Dia yang saya kenal sebagai pemuda ugal-ugalan, seenak jidat, omongan tak bisa dijaga, dan sangat kekanakkan, langsung sirna seketika. Di mata saya, PM kini adalah seorang pemuda dewasa yang sekiranya bisa diandalkan bila saya mengalami kesulitan. Satu hal yang saya sesali sampai sekarang, mengapa saya tak menyadari bahwa saya telah jatuh hati pada PM yang seperti itu?


**


Obsesi dan jatuh cinta.


Saya belum bisa membedakan kedua jenis ketertarikkan itu dengan baik. Selama ini saya selalu tertarik pada lelaki yang memiliki penampilan menarik. Entah seburuk apapun sifatnya, saya tak peduli. Selama di kedua mata ini dia bisa bersinar terang, maka hati saya tak akan berhenti mengukir bentuk dan rupanya. Entah sudah berapa kali saya terus-terusan seperti itu, dan saya terus mengira seperti itulah yang namanya jatuh cinta. Padahal, sebenarnya bukan itu yang dinamakan jatuh cinta, saya hanya terobsesi pada pria-pria itu.


Saya selalu bercerita mengenai pria-pria yang sekiranya saya 'jatuh-cintai' kepada PM. Sebelum lupa, saya akan memberitahu kalian salah satu alasan saya menikmati hubungan pertemanan dengan PM ini, yaitu karena dia adalah seorang pendengar yang baik. Tak peduli seberapa panjang, membosankan, dan tak pentingnya cerita saya, PM akan selalu mendengarkan. Dari hal-hal yang remeh temeh dari pria itu potong rambut, pria itu begini, pria itu begitu, dan sebagainya, sampai pada hal penting seperti ketika pria itu menyapa dan mengobrol dengan saya dan segala macam. PM mendengarkan semuanya dengan baik, tanpa keluh kesah, dan selalu memberikan reaksi yang tepat, walau beberapa agak tak sesuai di hati saya. Hal itu berlangsung dalam kurun waktu yang lama, sampai membuat saya selalu tak sabar untuk segera mengontak PM bila terjadi sesuatu pada diri saya. Pada saat itu, saya sudah merasa sangat nyaman dengan PM, dan selalu ingin bisa berkomunikasi dengannya.


Suatu kesalahan yang saya lakukan dan tak pernah saya sadari, adalah saya tak pernah memikirkan perasaan PM. Satu kalipun tidak. Semua tindakkan dalam hubungan ini saya lakukan secara sepihak, yang menguntungkan saya saja. Selama saya puas, selama saya lega, selama saya senang, maka saya akan terus bertindak. Tak pernah saya pikirkan satu kalipun seperti apa perasaan PM saat mendengar cerita saya, menerima perlakuan saya, atau... perasaan PM pada saya. Tak pernah terbersit sekalipun dalam otak saya hal-hal seperti itu. Saya terlalu dibutakan obsesi saya pada pria-pria itu.


Malam itu, saya sedang menceritakan obsesi baru saya pada PM, seperti biasanya. Saya bercerita dengan penuh semangat, dengan bahagia, dan dengan keyakinan bahwa PM akan bereaksi seperti biasanya. Sama sekali tidak ada kecurigaan dalam diri saya bahwa malam itu, cerita itu, perbincangan itu, akan menjadi akhir dari semua yang saya inginkan selama ini. Awal dari suatu masalah yang belakangan ini membebani saya. Saat itu, saya sudah selesai bercerita pada PM, dan saya menunggu reaksinya untuk kemudian memberondongnya dengan cerita lain lagi. Tetapi reaksi PM saat itu sangat ketus, dan bahkan berkesan hendak menghentikan pembicaraan. Karena tak biasanya PM bereaksi seperti itu, maka saya pun menjadi emosi, dan sebuah perdebatan pun muncul. Selama berdebat, PM menyatakan perasaan aslinya pada saya, yang saya acuhkan semuanya karena saya merasa bahwa hanya sayalah yang benar dalam hubungan kami ini. Saya tak mau mendengarkan PM, dan terus memaksakan kehendak saya hingga akhirnya PM mencapai puncak kemarahannya dan memutuskan hubungan kami, yang jelas untuk waktu yang tidak sebentar.


**


"Saya sudah menyatakan apa yang saya inginkan dari hubungan kita ini, tetapi kamu terlalu buta dengan impian palsumu dan tak pernah mencoba menatap saya. Untuk apa saya terus ada jika sekedar menatap saja kamu tidak pernah."


Dia hilang untuk selamanya.


Dan saya menyesal telah kehilangan dia.


PM tak pernah menghubungi lagi. Dia benar-benar telah lenyap dari siklus hidup saya. Bila bertemu, ia bertingkah seolah tak pernah mengenal saya, dan dalam pertemuan tidak langsung pun ia tetap mengacuhkan saya. Beberapa hari setelah emosi memuncak, saya tak begitu peduli, toh saya memang tak mengharapkan hubungan ini akan terus berjalan selama-lamanya.


Bukan dia yang saya inginkan untuk hubungan seperti itu, batin saya, kehilangan dia sekarang bukanlah masalah yang besar.


Saya mempertahankan pandangan itu untuk waktu yang tidak lama, karena semakin sering saya melihat dia, semakin saya sadari bahwa saya benar-benar kehilangan dia. Saya kehilangan percakapan menarik yang selalu kami lakukan, saya kehilangan dia yang liar tetapi perhatian, saya kehilangan selera humornya yang unik, dan... saya kehilangan perhatiannya. Apa yang saya rasakan ini berbeda dari saat saya kehilangan pria-pria yang saya ceritakan padanya. Biasanya saya hanya tertawa saja dan mengatakan 'memang bukan untuk saya ' , tak pernah merasa kehilangan sampai memberi efek yang luar biasa pada diri ini. Memang saya tak pernah merencanakan, tetapi dialah yang perlahan menarik saya untuk meletakkan namanya di dalam hati. Memang saya tak pernah menatapnya, tetapi secara tak terlihat dia menggambarkan rupanya dalam benak saya. Memang saya tak pernah mendengarkan, tetapi ia membisikkan namanya dalam relung hati ini. Tanpa pernah saya sadari, ia menumbuhkan suatu rasa yang tak pernah saya pahami, atau bahkan yang saya salah pahami. Rasa yang saya kira telah saya mengerti dan kenal betul, tetapi ternyata salah. Sebuah rasa yang saya pikir saya alami pada orang lain, tetapi ternyata pada dirinya.


Saya telah jatuh cinta padanya.


Tetapi saya juga kehilangan dirinya pada saat yang bersamaan.


Sampai detik ini, saat saya masih menulis dan memikirkan dirinya, dan juga menyesali keadaan, dia tetap tak pernah mengontak saya. Tindakkan itu bukanlah suatu hal yang aneh, sebab apa yang saya lakukan telah menyakitinya lebih dalam daripada apa yang dia lakukan pada saya. Semuanya berlangsung adil-adil saja bagi saya. Selama ini saya terus-terusan menyakitinya, dan kini adalah giliran dia untuk menyakiti saya. Roda akan berputar, dan sekarang adalah giliran saya berada di bawah setelah lama dia menempati posisi itu. Saya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu waktu yang tepat untuk memperbaiki keadaan ini. Mengembalikan hubungan yang telah terlanjur renggang, bahkan mungkin putus. Saya akan menunggu, sambil berusaha untuk memperoleh kembali apa yang ada di antara kami dulu. Dan bila nanti dia kembali dengan senyum dan keliaran yang lama,walau tanpa rasa dan ikatan yang sama, saya takkan segan untuk mengatakan...


"Saya memang tak pernah menatapmu, tetapi hanya kamu yang bisa saya pikirkan. Jangan tinggalkan saya lagi. Saya mencintaimu."