Review Film : The Cabin In The Woods

Jadi, belakangan ini dalam rangka mengisi libur lebaran, jadi gua dan teman-teman gua memutuskan untuk ngumpul dan bikin acara nonton bareng. Film pertama yang kita tonton saat itu adalah The Cabin In The Woods. Kalau ditanya kenapa pilih film itu, gua kasih tau aja bukan gua yang mau, tapi temen gua yang tergila-gila sama Chris Hemsworth yang milih. Dia bilang, itu ceritanya cerita thriller horror, dan Chris Hemsworth-nya juga ganteng di situ. Berhubung gua orangnya gak banyak protes, jadi ya gua manut aja, siapa tau bagus kan ya.

Sampe di rumah salah seorang temen, kita setel lah itu DVD.


Man, ternyata ceritanya bapuk banget luar biasa sampai gua udah gak sanggup berkata-kata setelah nonton. Diawali dengan adegan tidak jelas dua orang kantoran, yang sampe gua dan temen-temen gua kira sebagai bagian dari film lain yang secara misterius berhasil nyelip ke DVD itu. Setelah adegan tidak jelas itu, flm berlanjut. Intinya tentang 5 sekawan yang mau nginep di kabin di tengah hutan. Ternyata kabin itu suatu tempat yang freak banget, digunakan untuk ngebunuhin korban dalam suatu ritual. Intinya, ceritanya berlangsung sangat aneh dan freak sampai otak gua tidak sanggup mengikuti. Tiba-tiba dari thriller berubah menjadi gore yang nggak masuk akal kenapa bisa dan harus kesitu. Gua bukan kritikus atau pengamat film, tapi gua juga tau kalo film ini ketelaluan bapuknya, padahal menurut gua posternya lumayan meyakinkan.

Kalau disuruh kasih rating, dari 1-10 gua kasih 4 deh. 3,5 kalo bisa. Gua sangat tidak menyarankan kalian untuk menonton ini. Untuk alasan apapun.

Oh, kalau mau tau review dan sinopsis soal film ini dengan lebih jelas, silakan banget klik gambar poster yang ada di atas, itu link langsung ke IMDb. Gua sendiri agak bingung kenapa rating situ ngasih 7.6 buat film ini, tapi ya, pandangan ahli sama awam macam gua kan beda, jadi yasudahlah. Silakan dibaca, tapi gua tetap sangat tidak mempersilakan kalian untuk nonton. Daripada rugi dan nyesel, kan?

Kalo masih nekad nonton... Jangan bilang gua gak pernah ngingetin.

Mencari Pelarian

Jadi ceritanya selama 6 hari kemarin (29 Juli - 3 Agustus) saya melarikan diri dari kenyataan. Tempatnya anda tidak perlu tahu, pada kesempatan lain akan saya sampaikan. Intinya, saya sedang lari dari kehidupan saya yang sebenarnya ke alam mimpi.

The Runaways


Beberapa hari sebelum saya mulai lari, saya menonton film yang dibintangi oleh Kristen Stewart dan Dakota Fanning ini. Ceritanya tentang band yang personilnya perempuan semua, intrik dan perjuangan mereka. Saya kurang begitu suka ceritanya, tapi tokoh-tokohnya menarik. Tentang bagaimana Chery (Dakota) pergi dari rumahnya, kehidupan biasanya menjadi vokalis band The Runaways. Sisa ceritanya silakan anda nonton sendiri. Tapi saya suka ide meninggalkan rumah dan menantang diri sendiri ini, melakukan apa yang saya mau.

Saya sedang suntuk dengan semua kegiatan yang saya lakukan. Dari kepanitiaan di kampus, teman-teman semua, keluarga, hidup... membuat saya bosan dan muak. 3 kali seminggu menempuh Jakarta-Depok, bertemu itu-itu saja. 7 kali seminggu bertemu orangtua dan adik-adik. Melihat rumah yang sama. Di depan laptop, tidak tahu mencari apa. Membosankan. Mereka tidak salah, tapi manusia memang adakalanya bisa merasa muak dan bosan tanpa alasan kan? Berbekal rasa bosan inilah saya dan seorang teman kemudian merencanakan untuk mengambil liburan ke suatu kawasan kelautan di daerah Jawa Tengah.

Saya mau lari, dari rutinitas, dari kebosanan, dari kemuakan.

Pelarian


Dan akhirnya saya meninggalkan semua yang saya bilang membosankan dan memuakkan itu. Saya mau senang-senang, mau melepaskan beban yang sedang ditanggung ini. Merasa senang, bebas, dan bahagia adalah tujuan utama dari pelarian ini. Apalagi beberapa saat sebelumnya saya baru baca posting blog seorang dosen Filsafat yang saya kagumi tentang bagaimana laut dapat menyembuhkan luka. Ekspektasi saya sangat tinggi. Sepulang dari pelarian ini, saya berharap kembali sebagai seorang yang baru, bersih dari beban luka dan carut marut. Karena saya telah disembuhkan oleh laut.

Tapi ternyata ekspektasi tinggi memang hanya berbuah kekecewaan.

Karena satu dan lain hal yang rasanya tidak etis saya ceritakan di sebuah jejaring sosial, luka saya malah bertambah. Apa yang saya percaya ternyata salah, dan saya harus mencoba membangun semuanya lagi dari awal. Belajar menerima kenyataan baru, dan kemudian beradaptasi. Dari awal saya memang tampak cuek, tertawa-tawa, melawak, menikmati pelarian, tapi di dalam saya mencoba menjahit luka yang sedang menganga. Luka yang rasanya perih sekali saat terkena garam kehidupan.

Tapi dari torehan luka tersebut saya jadi belajar banyak hal, yang sebelumnya tidak pernah terpikir oleh saya.

Kenapa saya tak pernah tahu...


1. Teman itu ada juga yang sekedar pencitraan, bahkan di depan sahabatnya sendiri.
2. Memperoleh status 'sahabat' itu susahnya bukan main.
3. Untuk pelarian yang menyenangkan itu dibutuhkan partner yang benar dan tepat.
4. Masalah itu adanya di dalam diri sendiri.
5. Orang yang sok kuat itu justru adalah yang paling lemah.
6. Dia yang banyak bicara adalah pendusta terbesar.

Jadi akhirnya...


Setelah pelarian tersebut, saya jadi belajar banyak tentang hal yang ternyata melenceng dari pemahaman saya. Biarpun lukanya ada, tapi tawa yang keluar juga banyak. Saya tertawa dan menangis sekaligus. Saya sakit dan sembuh sekaligus. Kacamata saya berubah, pandangan saya meluas. Semua setelah saya lari sesaat dari rutinitas dan pencitraan. Kita memang terkadang harus pergi menjauh, dan mencoba melihat semuanya dari sudut pandang baru yang sebelumnya tak pernah kita coba. Banyak hal yang belum saya tahu, banyak hal yang saya harus tahu. Kalau dengan melakukan pelarian saya bisa tahu lebih banyak....

Saya tidak keberatan melarikan diri lagi entah kemana.

Tapi bersama partner yang berbeda tentunya.

buat yang mau melihat  kisah pelarian saya dari perspektif lain,
silakan mengunjungi blog baru saya yang isinya cuma catatan pelarian
tanpa embel-embel lain,