Ini Tentang...

"Selama belum ada tujuan, buat apa aku pindah?"

Lara berkata sambil menyulut rokoknya. Saya mengipaskan tangan mencoba mengusir asap yang perlahan mengepul di sekitar kami. Sesungguhnya, saya tak pernah menyukai Lara saat ia sedang merokok. Entah kenapa, dengan sebatang Marlboro di tangannya, sahabatku ini akan berubah menjadi pribadi yang defensif dan keras kepala. Padahal dia sebenarnya tidak begitu. Lara yang kukenal adalah Lara yang baik dan terbuka dengan segala pendapat. Tapi Lara dan Marlboro adalah Lara yang berbeda, Lara yang bukan sahabatku.

"Tapi, Lara, kamu tahu kan, di sini kamu tidak akan mendapat apa yang kamu mau. Coba kamu lihat dulu yang lain, siapa tahu kamu bisa dapat lebih dari yang..."

"Yang aku mau ada di sini." Lara memotong kata-kataku, dia menatapku tajam,"Kupikir kita sudah cukup membahas tentang ini dari dulu. Jawabanku tidak akan berubah, kawan.".

"Tapi, Lara! Kamu belum lihat yang ini!" aku mengeluarkan ponselku, dan menampilkan sebuah foto di layarnya,"Mungkin yang sebelumnya kutawarkan memang bukan seleramu. Tapi yang ini beda, kelas atas! Kamu akan menyesal melepaskan yang ini!".

Sahabtku hanya melirik sedikit ke layar ponselku, lalu menghembuskan asap dari hidungnya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi aku sudah menghela napas. Tidak perlu kata-kata untuk menyatakan penolakan. Lara sungguh-sungguh saat bilang jawabannya tidak akan berubah, entah apapun yang kulakukan. Dia tidak akan menyerah, mau tidak mau harus aku yang menyerah. Kuambil kembali ponselku dari atas meja, dan kusimpan dalam tasku. Aku menghela napas.

"Kenapa kamu begitu keras kepala, Lara?" tanyaku lirih.

"Kupikir aku akan menanyakan hal yang sama padamu." sahabatku membalas tak acuh.

"Aku melakukan ini demi kebaikanmu."

"Lucu, aku juga melakukan ini demi kebaikanku."

"Kamu hanya membuang waktu di sini."

"Kamu juga hanya membuang waktu."

Lara mematikan rokoknya di asbak, lalu memanggil pelayan untuk memesan segelas kopi hitam lagi. Lara yang bukan sahabatku, rokok, dan kopi hitam. Kombinasi apalagi yang bisa lebih buruk dari ini? Sebatang Marlboro telah menyala lagi, aku melihat tembakau yang perlahan berubah menjadi abu dan asap, lalu menghilang entah ke atas meja atau ke udara. Kuhela napasku lagi. Air putih dingin di depanku sampai telah kehilangan dinginnya, saking lama dia lupa kusentuh. Semua kulupakan hanya demi Lara, yang ironisnya mengacuhkan aku seperti aku pada air dinginku.

"Kumohon berhentilah melakukan ini." kata Lara, "Kamu tahu kan, kamu hanya menyia-nyiakan waktumu."

Lidahku kelu, aku cuma diam dan menatap airku. Dingin yang hilang berubah menjadi butiran kecil di luar botol. Rasanya lebih menarik dilihat daripada Lara.

"Aku senang ada di sini. Aku tak perlu pindah." katanya lagi,"Dan kamu juga jangan memaksaku lagi. Kuharap ini jadi usaha terakhirmu, oke?"

Aku mengangkat muka dan menatap Lara dengan tatapan protes. Dia mungkin tidak sadar, tapi aku sungguh tahu di sini bukan tempat yang sesuai untuknya. Di tempat lain, dia bisa lebih berprospek, dan tempat lain juga mungkin lebih terbuka menerimanya. Mungkin jauh lebih baik ketimbang tawa sinis dan senyum melecehkan yang diterimanya di sini. Lara tidak menderita, tapi aku yang menderita melihatnya diperlakukan begitu. Aku harus memaksanya pindah, tidak perduli apa alasannya!

"Tapi, Lara..."

Sahabat yang bukan sahabatku menghembuskan asap rokok ke wajahku, membuatku terbatuk-batuk dan lupa dengan apa yang hendak kukatakan.

Aku tidak menerima bantahan, ucapnya tanpa kata, terima keputusanku entah kau setuju atau tidak setuju.

Aku menatap Lara dengan mata terluka, dan merah berair karena asap rokoknya tadi. Tapi dia tidak peduli, sahabat yang bukan sahabatku itu, dia terus merokok seolah dia tidak melakukan sesuatu yang salah tadi. Tidak ada kata yang tertukar lagi di antara kami. Dengan kesal aku meraih kotak rokok yang ada di hadapan Lara, mengambil sebatang dan menyalakannya.

Kali ini, biar aku yang berubah menjadi bukan sahabatnya. Kupikir aku ingin melupakan sahabatku sejenak.