Semua orang mau dianggap spesial, jadi kenapa saya juga harus mau dianggap demikian? Apa yang membedakan saya? Saya sama saja dong seperti mereka yang mau dianggap spesial. Peduli amat. Yang spesial cuma makanan.
Akan ada titik di mana anda akan mencoba untuk menghilangkan segala rasa yang ada dan belajar untuk hidup dalam kehambaran. Ada baiknya bila sebelum segala sesuatu menjadi hambar, anda cecap baik-baik segala yang ada. Karena apabila nanti segala sesuatu berubah menjadi monton, akan ada sedikit kenangan tentang rasa yang berbeda, entah itu berupa lonjakan ke atas atau sekedar jatuh bebas ke bawah.

Nikmatilah sedikit rasa kemanusiaan sebelum anda berubah sepenuhnya menjadi robot.

Mengobjekkan Diri

Kemarin, ketika saya sedang mengunjungi sebuah pura di daerah Bogor, saya melihat begitu banyak orang yang membawa kamera saku, iPad, kamera handphone dan semacamnya, sibuk sekali mengambil banyak foto. Kalau foto patung yang ada di pura, atau foto alam di sana yang masih hijau, maka saya akan memaklumi, pemandangan itu jarang sekali ditemukan apabila anda berasal dari kota besar. Tapi yang sibuk mereka jadikan objek foto adalah dirinya sendiri. Pemandangan tersebut saya anggap sebagai sesuatu yang sangat aneh.

Saya pikir, sejak awal, manusia itu dilahirkan sebagai sebuah subjek, sebagai sesuatu yang memandang dan menilai. Apalagi setelah mereka memegang kamera, yaitu sebuah alat untuk menangkap gambar ataupun pemandangan - sebuah objek. Dengan memegang alat tersebut, menurut saya, kesubjekan manusia telah menjadi sesuatu yang absolut. Mereka adalah subjek, yang akan menangkap objek dengan menggunakan kamera. Begitulah seharusnya. Tetapi pada kenyataan yang saya lihat kemarin, justru malah banyak yang menggunakan kamera itu untuk mengambil gambar mereka. Menggeser status mereka sebagai subjek absolut menjadi subjek. Saya tidak bisa tidak heran, mengapa mereka, sambil tersenyum bahagia, mendegradasi diri mereka sendiri.

Dengan menjadi objek, maka seorang kehilangan hak dan kendali atas dirinya sendiri. Mereka menjadi sesuatu yang ditangkap, tanpa persiapan apapun dan tidak bisa menentukan dalam kondisi apakah mereka mau difoto. Lain cerita kalau anda menjadi model bagi orang lain, menurut saya itu adalah perjanjian antara subjek dan subjek yang dijadikan objek, tetapi dengan kesadaran sebagai subjek. Model sebagai objek bukan dalam kondisi objek tidak berdaya, tetapi sebagai objek yang diminta oleh subjek lain, dan untuk itu, dia masih memiliki hak kesubjekannya. Objek yang sekaligus subjek. Dia berhak menentukan gaya dan ekspresinya sendiri. Poin terpentingnya, seorang model menjadi objek bukan atas kemauannya sendiri secara cuma-cuma, tetapi atas persetujuan, dan dia mendapatkan keuntungan dari persetujuan tersebut. Bukan objek cuma-cuma yang tidak ada nilainya.

Poin yang hendak saya sampaikan, setelah melihat para objek cuma-cuma tersebut (orang yang terlalu sibuk menjadikan dirinya sebagai objek dan lupa akan adanya objek yang sesungguhnya), adalah lucu melihat bagaimana manusia dengan senang hati dan relanya menurunkan derajatnya sendiri. Pertama, dengan menjadikan diri sebagai objek dari kameranya, bukan lagi manusia yang mengendalikan kamera, tetapi manusia dikendalikan kamera. Orang jadi sibuk menyesuaikan diri dengan kameranya, sibuk menyusun posisi yang pas, sibuk memasang timer dan kemudian terburu-buru mengambil posisi terbaik (yang seringkali telat sehingga gambar keburu terambil sebelum dia dapat posisi yang pas). Mereka kehilangan hak sebagai subjek, dan malah jadi objek (yang mirisnya) dari sebuah benda.

Berbahagialah mereka yang masih punya kesadaran sebagai subjek, mereka bebas menentukan dirinya sendiri.