M

manusia emang makhluk paling aneh sejagat raya. ga ada yang bisa nebak apa yang sebenernya ada di kepalanya. bisa aja di mukanya dia kelitan seneng dan ga ada masalah, padahal dalem hatinya serombongan tentara lagi tembak menembak. hancur lebur amburadul ga keruan. tewas.

Bayangkan sebuah batu, hitam pekat warnanya. terus, bayangkan batu itu dilapisin cat warna emas. voila! berubahlah sang batu menjadi sebuah emas. emas indah mahal harganya. tapi aslinya hanyalah batu. hitam, pekat, palsu.

nah, teman, batu itu adalah hati. hati yang menjadi pusat segala pikiran manusia. hati yang menunjukkan kebenaran tentang manusia. hati cerminan manusia. dan, si cat emas itu adalah AKU.

aku ini pemanis. pemanis dari sesuatu yang pahit. memang, aku menyebut diriku pemanis, padahal sebenarnya aku adalah akar dari kepahitan. di depan aku terlihat manis, tetapi begitu aku terkuak, pahit yang terasa. jahat memang, tetapi itulah aku. "M" 

seperti yang sudah kubahas di atas. aku adalah akar dari kepahitan. herannya, makhluk paling aneh sejagat raya itu tetap saja banyak yang menyukai diriku. beberapa ada yang sadar akan efek dari diriku, tetapi tetap saja mereka memakaiku untuk melapisi hati hitam mereka. beberapa ada yang tidak sadar dan tetap mengoleskan diriku setebalnya di hati mereka. aduh kawan, sadarkah kalian, hati kalian semakin cepat membusuk dengan adanya aku yang melapisi. sudah hitam, pekat, busuk... aih, hati seperti itu selayaknya dihancurkan dan dibuang saja..

**

sumpah ya Tuhan, gak pernah gue berasa sebenci ini ama orang sebelumnya (ga sih, ini bohong. total, udah lebih dari 10 orang yang pernah gue benci dalam hidup ini, lol). yah, intinya, gue benci ama dia. apa sih gayanya itu loh... berasa manis lo heh? ooooh, ya, ya, di muka emang gue TIDAK menunjukkannya, gue terlihat sangat FINE dengan sikap lo. but deep in my heart, girl, haha.TERKUTUKLAH ENGKAU KE DASAR NERAKA *efek suara petir,ctarr ctarr* 

"Ups, hai 'M'..."
"Hai." sapa 'M' balik padaku, dia tertawa setelah membaca pikiranku,"Busuk."
"Dari dulu sudah busuk." balasku, aku tersenyum sinis,"3 tahun setelah berteman denganmu, busuklah sudah."
"Sudah kubilang. hatimu akan cepat membusuk dengan keberadaanku. salahmu sendiri ya kalau terjadi apa-apa."
"Sial kau." aku terkekeh mendengar kata-kata 'M', dia benar,"Kalau terjadi apa-apa katamu? semuanya sudah terjadi..."

'M' diam, dia lama menatapku, lalu tersenyum. hatiku terasa pahit mendadak. yah, efek darinya sudah mulai terasa... tersenyum terasa menyakitkan, tertawa terasa miris, berbicara serasa sulit, melihat serasa buta. inikah efek darimu, 'M'? inikah kepahitan yang sudah kau katakan sejak awal kita bertemu? merasakan heningnya dirimu, aku tahu jawabanmu ya.

"Kejujuran itu mahal harganya." 'M' berkata lagi, dia mendekatiku,"Kalau aku boleh membandingkan ya, kami berdua sama-sama emas. hanya saja, aku emas sepuhan yang palsu. dalamku adalah batu busuk yang tak ada harganya dan lebih pantas dibuang. kalau kejujuran itu, emas asli. luar dalam emas. harganya akan tetap mahal, dan pantas untuk disimpan."

"Memang mahal. karena mahal itulah aku tak mau memilikinya." jawabku sambil tersenyum pahit,"Tapi barang palsu memang tak menjamin.. membawa penyakit saja."
"Itu pilihanmu." jawab 'M' sinis,"Aku dan kejujuran datang bersama-sama, kami datang menawarkan diri padamu. bukan sekali saja, berkali-kali dia datang bersamaku. tapi kamu memilih aku. si palsu yang murah ."
"Bagaimanapun juga, kamu terlihat lebih manis, 'M'." kataku pelan, aku mengingat saat-saat dia dan kejujuran datang menawarkan diri,"Kamu manis, menarik, dan lebih mudah dipakai.sayangnya, manis di mulut, tapi pahit di sini." aku menunjuk hatiku.
"Deritamu. bukan tanggung jawabku. resiko ditanggung pembeli." jawab 'M',"Jadi, bagaimana sekarang? masih mau membeli diriku? menyepuh hatimu yang keropos dan busuk itu menggunakan aku?"

Aku dia, menatap sesosok manusia yang tengah berada di hadapanku. tertawa, berbicara, bertingkah laku... MEMUAKKAN. aku membuang muka, mencoba tidak melibatkan diri sama sekali di percakapan itu. tetapi manusia menjijikkan itu mengajakku bicara, menanyakan pendapatku. oh, jangankan berbicara.. melihat mukanya saja sudah ingin kulindas rata dengan buldoser... mendengar suaranya mau kucabut kupingku... melihat tingkah lakunya mau kuikat, kugiling, dan kujadikan makanan ikan dia...

mataku cepat mencari 'M'. hey, teman, di manakah kamu? kemari, aku ingin membeli dirimu. aku mau menyepuh batu busuk ini lagi menjadi emas berkilau. biar pahit biar sakit aku tak peduli. sekali busuk ya busuklah sudah. hey, 'M', di mana kamu?

**

Aku tertawa, dia juga tersenyum. hey, sudah puaskah kamu sekarang? menampilkan tawa palsu itu, pujian palsu, kata-kata palsu? kalaupun kamu merasa puas dan senang, ingatlah hatimu. batu yang tengah kugerogoti itu. semakin lama semakin lapuk, semakin hancur, semakin busuk... kamu senang seperti ini? sadarkah kamu hatimu sakit dengan segala kepalsuan itu? apa ini yang kamu mau? Sadarlah, begitu lapisan emas palsuku ini sirna, hatimu yang busuk itu akan segera terlihat. kamu akan menyesal, sadarilah semuanya. 

ngomong-ngomong, jangan salahkan aku kalau waktu penyesalan tiba, kamu berpikir,"Tahu begini seharusnya sejak awal aku memilih kejujuran.". sudah terlambat, kawan. terlambat.

aku ini pemanis. pemanis dari sesuatu yang pahit. memang, aku menyebut diriku pemanis, padahal sebenarnya aku adalah akar dari kepahitan. di depan aku terlihat manis, tetapi begitu aku terkuak, pahit yang terasa. jahat memang, tetapi itulah aku. namaku MUNAFIK 


Jakarta, 2009
saya dulu masih bodoh, hahaha. dunia masih suram saja.

Benci Cinta

cinta itu benci
benci itu cinta
cinta tidak benci
benci tidak cinta
cinta pun benci
benci pun cinta

benci ada cinta ada benci ada cinta

cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta benci cinta bencin ta ben cinta benci nta bencintabencintabencintacintabencinta


Jakarta, 2009
sejenis puisi yang saya pernah buat waktu SMA dulu, waktu pertama kali kenalan sama Sutardji

Namaku "K"

Hmmh. entah berapa tahun sudah berlalu. entah sudah berapa ratus atau ribu kali jam dinding itu berputar dari angka 12 kembali ke angka 12 lagi. aku tak tahu.

Nama? tak tahu aku. apa 'sesuatu' seperti aku ini layak punya nama? jangankan nama, wujud pasti pun aku tak punya. 'sesuatu' yang tak berwujud, tak bernama, tapi ada. itulah aku. bingung? aku juga.

biar kalian bisa sedikit mengerti tentang aku,coba ku ceritakan saja diriku secara garis besar.

aku tak berwujud. sebenarnya ada, tapi berbeda-beda tergantung di mana aku berada, tapi kalian bisa menemukanku dalam wujud sama di beberapa tempat.

aku ada di semua tempat. tetapi keberadaanku bisa disadari bisa tidak, tergantung kondisi tempatku berada. pada kalian pun, aku juga ada. entah sekarang kalian menyadariku atau tidak. bagaimana sekarang? sudah dapat gambaran?

sekarang aku akan memulainya. cerita tentang diriku, tentang salah satu dari dia yang menyadariku..

**

sebenarnya, keberadaanku ini bisa merepotkan bisa tidak. tergantung bagaimana cara mereka yang kuhinggapi memandangku. aku bisa sama sekali tidak menggubris mereka, tetapi bisa membuat mereka seolah berada di jurang terdalam kehidupan, seperti orang yang mau kuceritakan ini.

sejak awal dia ada, dia bukanlah sesuatu yang bermasalah. dia tidak cacat, keluarganya baik-baik saja, pergaulannya normal, dia bukan murid yang bermasalah di sekolah, dan hidupnya seperti orang kebanyakan. normal, datar, tidak berwarna. apa itu yang membuatnya begitu merasakan keberadaanku?

sebenarnya tidak. dia tahu, aku juga tahu. bukan segala kenormalan dan kedataran itu yang salah. 2 tahun yang lalu, dia sama sekali tidak sadar akan keberadaanku. beberapa kali aku mencoba menyapanya, mengingatkannya kalau aku ada. dia memang merasakanku, tetapi tidak menjadi masalah seperti saat ini. saat itu, aku hanya bisa diam di tempatku berada, melihat dia menikmati hari-harinya dengan senang, tanpa diriku.

tahun-tahun yang menyenangkan itu tiba-tiba lewat. dia pindah, pindah ke suatu tempat yang benar-benar berbeda dari segala kenormalan yang berlangsung. sejak awal dia pindah, dia tahu, sesuatu akan berubah. kenormalan yang dia miliki mungkin hilang, dia akan berubah. entah dari kepompong menjadi kupu-kupu yang cerah, atau malah menjadi ngengat yang suram. dia tidak tahu, tetapi aku tahu akan jadi apa dia.

sekitar setengah tahun setelah kepindahan itu, dia sudah berubah drastis. pertama-tama, dia memang menjadi kupu-kupu. dia senang, gembira dengan lingkungan sekitarnya. dia merasa bahwa hidupnya begitu menyenangkan pada saat itu. keberadaanku terlupakan, benar-benar terlupakan seolah aku tidak ada. dia sama sekali tidak sadar, kalau itu hanya awalnya. dia akan terpuruk, jatuh ke jurang terdalam setelah semuanya. dia tidak akan pernah jadi kupu-kupu itu. dia akan sadar, hujan akan segera turun, dan warna warni itu akan luntur. dia akan sadar, kalau dia sebenarnya telah menjadi ngengat.

setahun berlalu. 'kenormalan' yang sudah terguncang itu kembali terguncang lagi. kali ini bukan karena aku, tetapi karena sesuatu yang lain. yah, biar nanti sesuatu itu yang bercerita pada kalian. ini kisahku, bukan kisahnya. pokoknya, setelah guncangan itu, aku sepenuhnya muncul ke permukaan. dia sadar betul akan kehadiranku sekarang. dan suatu keberuntungan karena aku sudah melekat kuat di hatinya, karena setelah sadar, dia mencoba membuangku. tapi tidak bisa. tidak akan pernah bisa lagi. aku sudah menyatu dengan hatinya, menjadi bagian dari dirinya. mau bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri dariku, tidak akan bisa. hanya kematian yang bisa memisahkan kami.

**

aku menghela napas. pikiranku kosong. otakku kosong. aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. hati ini sudah terlalu lelah untuk merasa, untuk berpikir, untuk apapun juga. capek. 

"memang sulit ya hidup kalau bersamaku." suara tak berwujud itu berkata sinis,"Jadi, sekarang apa keputusanmu?" 

aku diam dan menatap cutter di atas meja. keputusanku sudah bulat, tetapi masih bulat seperti pacman, alias masih ada keraguan di hatiku. segalanya sudah beres. aku sudah membuat surat yang menjelaskan mengapa aku bertindak seperti ini, segalanya tentang apa yang kupikirkan, kurasakan, dan kuinginkan. sejak aku berubah, aku sadar bahwa tidak ada lagi gunanya aku melanjutkan hidup ini. kalau harus terus tersakiti seperti ini, bukankah kematian akan terasa seperti obat penawar yang kutunggu-tunggu? saat dimana aku tidak akan bisa merasakan apa-apa lagi, seperti yang kuinginkan selama ini. 

"Jadinya?" suara itu terus mendesak,"Ayo lakukan kalau kau pikir kau sudah tak tahan lagi denganku. ingat, kita tak bisa terpisahkan sampai mati. kau terus menyembunyikan aku dalam hatimu, membuatku menguasainya sesuka hatiku. kau tak bisa membuangku, melupakanku, atau menghancurkanku." 

dia benar. hanya kematian yang bisa memisahkanku dan dia, tidak ada jalan lain lagi. tanpa berpikir panjang, aku mengambil cutter dan mulai menggoreskannya dia pergelangan kiriku. pertama tipis-tipis. sakit. aku berhenti menggoreskannya. rasanya sakit sekali... tapi aku meningat hari-hari yang kulalui beberapa bulan terakhir ini. mengingat perasaan kosong yang begitu menyiksaku, mengingat bagaimana aku membenci melihat mereka yang berkumpul dan tertawa bersama, benci melihat bagaimana aku dilupakan dan tak dianggap. aku mendengus dan mulai menggores lagi. sakit yang kurasakan saat ini tak ada apa-apanya dibandingkan sakit yang setiap hari harus kurasakan, ya, sakit yang bernama KESEPIAN itu. goresanku mulai semakin berani, semakin mendalam, terus, terus, semakin dalam. darah mengalir, menetes berjatuhan dari atas meja ke pahaku. sakit yang pertama kurasakan semakin berkurang, malah lama kelamaan tak terasa apa-apa. apa aku sudah mencapai tahap tak merasa apa-apa 

"yep. kau sudah mencapainya." aku sekarang bisa melihat si suara tak berwujud itu. aku terkejut, wujudnya tak lain adalah diriku sendiri,"sekarang kita sudah berpisah. selamat, aku tak akan mengganggumu lagi." 

**

Anak malang. dia sama sekali tidak sadar, aku telah menipunya. Aku dan dia masih bisa berpisah, asalkan dia mau memandang hidupnya lebih baik lagi. aku hanya bisa tersenyum kalau mengingat anak ini, bagaimana manusia bisa menjadi begitu lemah dan bodoh sehingga mengakhiri hidupnya hanya karena aku. haha. bodoh.

ngomong-ngomong, anak itu ternyata menyebutkanku juga di surat terakhirnya. memang lecek dan sudah berlumur darah, tapi kedua orangtuanya masih bisa membacanya. saat mendengarnya, aku merasa bahwa memang itulah namaku yang sebenarnya.

Jadi, mari kita berkenalan sekali lagi. namaku "KESEPIAN", aku ada di hati setiap manusia. kalian harus berhati-hati mulai sekarang, sebab mengenalku dapat mencabut nyawa kalian.



Jakarta, 28 Mei 2009
saya yang masih bodoh


Jadi ini sebenarnya karya saya waktu masih SMA. Saya ingat dulu saya baru pindah pertama kali ke tempat baru, dan suasananya terasa masih sangat asing. Saya begitu rindu akan tempat yang lama. Teman saya, seorang yang kebetulan sering merasa begini juga membuat rasa saya semakin besar. Dari kesepian  itulah lahir karya ini. Sekarang saya cuma bisa ketawa saja. Apa dulu saya selemah ini?

(bukan) Filsafat #1

Mendefinisikan ‘Manusia yang Bukan Manusia’

Seperti kata Tuhan, semua manusia itu sama. Tapi, itu di mata Tuhan dan mata kaum agamawan. Kalau di mata saya, seorang yang tidak terlalu agamawi, tidak semua manusia itu sama. Mungkin secara fisik, kita sama punya mata, hidung, mulut, telinga, dan anggota tubuh lain. Kita juga sama-sama perlu makan, minum, bernafas, dan juga melakukan kegiatan-kegiatan yang sama. Tapi buat saya, ada beberapa manusia yang tidak sama. Bukan artinya mereka berbeda secara spesies, tapi tetap saja berbeda. Saya menamakan manusia yang berbeda ini sebagai manusia yang bukan manusia.

Jadi ada beberapa orang, yang kebetulan saya baru ketemu di perkuliahan ini, yang membuat ide akan spesies ini tercetus di otak saya. Pertamanya, saya cuma menganggap orang-orang ini agak miring di otak. Soalnya, sejak awal saya masuk jurusan ini (sastra negara Asia yang memang terkenal ‘unik’ penggemar-penggemarnya), saya sudah dikasih tau dan dipersiapkan untuk bertemu dengan spesies baru ini. Saya pikir saya sudah siap, makanya saya masuk dengan percaya diri. Tapi saya salah, yang namanya ‘siap’ itu tidak semudah ini. Bahkan sekarang, setelah saya pikir, saya tidak akan pernah bisa siap sama sekali.

Untuk tidak membingungkan secara lebih lanjut, sekarang akan saya jelaskan sedikit tentang MYBM ini. Ibarat kalian melihat sesame manusia, tapi kalian tidak bisa menganggap mereka sebagai manusia yang benar-benar manusia. Cuma rupa saja sama, tapi isinya bukan manusia. Entah binatang apa atau makhluk halus apa, saya tidak bisa tahu, tapi yang jelas, bukan manusia. Karena anggapan itu, saya jadi tidak bisa memperlakukan mereka sebagai sesama manusia. Saya bahkan tidak mengerti harus memperlakukan mereka bagaimana, sebab binatang bukan, manusia bukan, lantas apa?

Karena itu saya langsung memutuskan untuk tidak mempedulikan sama sekali spesies aneh ini. Mau dibagaimanakan lagi, saya takut bakal salah memperlakukan mereka. Selama satu semester, saya mencoba untuk tidak memicu interaksi dengan spesies ini. Tapi namanya juga satu angkatan, satu jurusan, ya mau tidak mau (tidak mau sama sekali) harus berinteraksi kan.

Dan lalu saya jadi gila.

Sungguh, saya dibuat stress oleh perilaku spesies aneh ini. Tingkah laku mereka sungguhan tidak lazim. Benar-benar diluar akal sehat! Seaneh-anehnya tingkah binatang, tingkah mereka JAUH lebih aneh. Saya semakin yakin, sewaktu diciptakan, Tuhan salah memasukkan roh ke dalam tubuh mereka. Mungkin seharusnya mereka menjadi anjing, tapi eh, kok ya masuk rohnya ke tubuh manusia. Jadinya manusia anjing. Tapi kok ya anjing saja jauh lebih saya tolerir ketimbang mereka, ya saya sudah tidak mengerti lagi deh roh apalagi yang ada di dalam tubuh mereka. Saya pingin bilang itu roh bangsat, roh bajingan, tapi agak aneh, kalau mereka disebut makhluk bajingan atau bangsat. Mereka kan masih merasa tercipta sebagai manusia.

Untuk sementara, sampai detik saya menulis ini, saya masih belum bisa mengerti makhluk macam apakah mereka itu sebenarnya. Tapi satu hal yang saya yakini. Mereka bukan manusia.

Jangan Bilang Siapa-Siapa (Biarkan Saja)

"Gue mau curhat." kata Mita suatu siang.

Lara tersenyum kecil. "Oya? Lu kenapa, Mit?" sahutnya basa basi, biarpun dia sudah tahu apa yang akan Mita ceritakan.

"Soal Dipta." kata Mita dengan suara pelan, sesekali menengok ke kiri kanan, memastikan tak ada seorangpun yang mencuri dengar percakapannya dengna Lara. "Sempah deh, Ra, Gue kesel banget pas ketemu dia kemaren!".

Senyum Lara sedikit melebar. "Kenapa lagi Dipta, Mit? Kok lo bisa-bisanya kesel sama dia, ya? Perasaan gue nggak liat dia di kampus belakangan ini deh.".

Mita mendengus kesal, “Ya karena lo nggak liat, gak berarti dia gak bikin kesel gw kan, Ra! Lo denger dulu cerita gue!”.

Lara, masih tersenyum, mengangguk patuh dan duduk tenang siap mendengarkan. Dari mulut Mita meluncurlah sebuah cerita tentang dirinya dan Dipta, keluh kesah, sumpah serapah, hinaan, dan segala jenis kata yang bisa dikeluarkan seorang yang sedang emosi. Tapi, kemarahan Mita tidak pernah mencapai Lara, karena selama dia berceloteh, kawannya itu sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

**

“Jujur aja, ya. Gue gak pernah ngerti kenapa lu bisa tahan banget temenan sama Mita.” kata salah seorang temannya,”Apa sih rahasia lu, Ra?”.

“Rahasia apa ya?” tanya Lara berpura-pura bodoh,”Nggak ada rahasia apa-apa kok.”.

Temannya tertawa sinis. “Gak mungkin gak ada rahasia, Ra. You’re the only one who strong enough to face her. Lu gak sadar apa, pas kita lagi ngumpul, dan Mita dateng nyamperin lu, kita semua langsung mencar ninggalin lu dan dia. She got problems, man!”.

Lara diam sesaat, lalu berkata,”I know she got problems. Dan gue juga sadar banget kok lu semua langsung cabut begitu dia dateng. Tenang aja, gue tau lu semua benci dia. I’m fine with it. Gue Cuma menyayangkan aja betapa lu semua melewatkan kesempatan untuk sesuatu yang menarik.”.

Mendengar jawaban Lara, teman itu terdiam. Dia tampak memikirkan sesuatu, sementara Lara tersenyum-senyum sendiri mengingat setiap “keunikkan” Mita. Lara sadar betul betapa mengganggunya Mita bagi semua orang. Gadis itu benar-benar egois, berisik, dan sombong. Dia tidak mau kalah dari semua orang, dan merasa harus selalu menang dari mereka, entah dalam bidang apapun. Semua orang yang telah cukup lama menghabiskan waktu dengannya, perlahan satu persatu akan mundur menjauh. Kalaupun ada sedikit yang masih tahan ada di dekatnya, itu juga Cuma mencari bahan tertawaan atau topik untuk sesi gosip. Cerita tentang Mita selalu diminati banyak orang, saking “unik”nya dia. Lara termasuk salah seorang di kategori ini.

Saat semua temannya pergi menjauh, Lara malah ada di dekat Mita. Baginya, daripada mendengar dari orang lain (yang mungkin melebihkan kejadian sebenarnya), lebih baik dia dengar dan alami sendiri “keunikan” Mita. Semua kebodohan, ketololan, dan keanehan yang bisa Mita lakukan, biarlah dia yang jadi penikmat pertamanya. Biar dia yang paling pertama menertawakan, paling pertama membodoh-bodohi (biarpun dalam hati), paling pertama mengalami, sebelum dia bagikan ceritanya pada orang lain, yang mungkin akan dia tambah-tambahi ceritanya agar semakin menarik. Hampir semua temannya memandang Mita sebagai “gangguan”, dan karena itu mereka akan langsung pergi ketika Mita datang. Tapi, bagi Lara, Mita itu “hiburan”, karena itu dia bertahan, supaya setidaknya hari itu dia bisa tertawa. Juga mensyukuri kenyataan bahwa masih ada makhluk yang jauh lebih bodoh dan menyedihkan daripada dia.

“Gue masih gak ngerti, Ra.” kata temannya,”Gue akuin semua gosip tentang dia itu menarik. Tapi itu kalo didenger dari orang lain. Tapi kalo harus gue alamin sendiri, gue gak yakin masih bisa hidup ato nggak.”.

“Itu karena lu gak mau mencoba menikmati.” Kata Lara santai,”Kalo lu udah tau kebenaran dari semua ceritanya, dan lu mau mencoba menikmati sedikit aja, gue jamin lu gak akan bisa nahan ketawa kalo lagi sama Mita.”.

Temannya tertawa kecil. “You’re insane, Ra. Gue gak akan pernah ngerti jalan pikir lo yang ajaib. Siksaan gitu lu suruh gue nikmatin. Lewatin mayat gue dulu. Tapi ya terserah lu sih. Tanpa orang kayak lu, kita akan kekurangan banget gosip tentang Mita. Silakan nikmaitn saja dia.”.

“Pasti kok.” Lara tersenyum manis, memang dia tidak pernah berniat untuk menjauhi Mita, “Lu gak perlu khawatir. Gue akan tetep ngedengerin dia, dan kalo ada yang lucu gue gak akan lupa ngasih tau ke kalian. Santai aja.”.

Temannya tertawa terbahak-bahak. “Bangsat, bangsat! Emang brengsek ya lu, Ra!” katanya di sela tawa, “Sip lah, gue percaya sama lu! Inget, cerita lu selalu kita tunggu loh!”.

“Jangan khawatir.” Kata Lara, “Kita semua akan terus terhibur kok selama ada Mita.”.

**

“… jadi gitu ceritanya, Ra! Brengsek kan Dipta, iiiiiiih!!! Kesel banget deh gue sumpah!” ujar Mita penuh emosi, matanya mulai berkaca-kaca, “Kesel banget sampe mau nangis, Ra!”.

Lara, tidak mendengar apapun sama sekali, mencoba terlihat simpatik dengan mengucapkan, “Sabar, Mit, sabar. Kalo emang kesel ya nangis aja. Nggak papa kok.”.

Dan memang kemudian airmata mengalir deras di pipi Mita. Seperti ritual yang selalu terjadi, Mita akan menceritakan ulang apa yang dia alami, namun kali ini semakin didramatisir dan ditambah isak tangis serta aksi berlebihan yang biasa orang temukan di dalam sinetron. Lara akan terus berlaku simpatik, biar dia tak sedikitpun peduli. Dia cukup mendengar, mencatat poin penting dan aneh dari cerita itu, sambil menahan tawa sekuat tenaga. Setelah sesi dramatis tersebut, Mita mulai tenang sedikit, dan kemudian pamit pulang pada Lara, ada urusan penting katanya. Masih pura-pura simpatik, Lara akan menepuk pundak Mita, mengatakan segalanya akan baik-baik saja.

Thanks, Ra! Lo emang sahabat terbaik gue.” Ujar Mita dengan penuh terimakasih, “Btw, please banget jangan sampe cerita ini kesebar ya. Gue malu banget soalnya nangis gara-gara Dipta.”. Lara akan mengangguk sambil tersenyum, melambaikan tangan dan menyaksikan Mita pergi entah kemana. Setelah Mita benar-benar menghilang, Lara akan melepas tawa yang ditahannya sejak tadi.

“Ya kali, oy! Yakin lu malu karena nangisin Dipta? Hahahaha!” batinnya, sambil mengontrol dirinya agar tidak tertawa terlalu keras,”Kenapa gak bilang aja sih, ‘Gue malu soalnya yang gue certain ke lu itu bohong semua, Lar. Kejadian itu gak pernah ada. Gue Cuma lagi pengen bersandiwara aja.’. Hahahaha! Aduh, Mit! Kocak banget sih lu!”.

Mita tidak tahu, kalau selama dia ‘ketemuan dan berantem sama Dipta’ kemarin, Lara sedang ada di rumah sakit menjenguk Dipta, yang sudah kurang lebih tiga hari opname karena demam berdarah. Lara benar-benar salut pada Mita, yang bisa bertemu dengan Dipta di kantin fakultas, sementara anaknya saja tidak boleh pergi kuliah selama seminggu. Mita pikir Lara tidak tahu Dipta, padahal sebenarnya mereka berdua teman akrab sejak SMA. Tapi Lara tidak pernah bilang, dia takut akan kehilangan ‘hiburan’ dari cerita-cerita imajinatif Mita nanti. Lara tahu betul, semua curhat Mita tentang Dipta itu bohong belaka dan berlebihan dari kenyataan sebenarnya. Karena itulah dia tidak pernah menanggapi serius, dan mendengar sambil menahan tawa. Imajinasi inilah yang kemudian akan Lara tertawakan bersama Dipta dan teman-teman lainnya.

Handphonenya kemudian berbunyi, teman-teman Lara sudah menunggu untuk mendengar gosip baru yang didapatnya hari ini. Lara membereskan barang-barangya, kemudian pergi menuju tempat teman-temannya menunggu. Dia tidak sabar untuk tertawa keras hari ini.

Jakarta, 4 Maret 2012

Ini saya benar tertawa, terimakasih untuk naskah dramamu.

Surat Lara #1

Suatu tempat, 29 Februari 2012

Saya selalu ingat tentang hal ini kalu bertanya-tanya kapan kira-kira kamu sadar saya sangat suka sekali sama kamu.

34 tahun lagi.

Katanya, saya harus menunggu 34 tahun untuk bisa berdampingan denganmu. Lama sekali, sungguh. Tapi entah kenapa saya merasa saya bisa menunggu selama 34 tahun itu. Tapi bukan menunggu yang benar-benar setia. Saya tidak keberatan kok, sungguh. Mungkin selama 34 tahun itu, saya akan mengisi waktu dengan orang lain.

Mungkin saya akan menikah, punya anak, bekerja, menjalani hidup saya dengan senang dan bahagia. Suami saya juga seorang berkecukupan, baik, sayang keluarga, dan tidak mengekang. Anak saya akan sangat lucu (seperti adik laki-laki saya itu), pintar dan penurut. Singkatnya, saya akan punya keluarga sempurna, dan hidup yang diangan-angankan oleh orang lain. Tapi, saya akan tetap menunggu kamu.

Kelak, saat kita bertemu lagi, mungkin kamu sudah sangat berbeda. Kamu tidak akan menjadi sosok yang pernah saya puja sekarang ini. Tidak terbayang oleh saya sama sekali sekarang, tapi mungkin kamu menjadi seorang pria yang rapi, memakai jas dan bermobil mewah. Meninggalkan hidupmu yang sempat liar dan berantakan, dan mulai hidup yang rapi dan teratur. Saya akan bilang itu membosankan, tapi tidak berarti saya akan kehilangan minat padamu. Memang saya lebih berharap menemukanmu hidup seperti seniman, tidak rapi, tetapi sangat atraktif (seperti sekarang). Ketimbang jas kamu lebih cocok berpakaian kasual dan nyeni, ketimbang mobil kamu lebih cocok memakai motor besar (atau vespa), ketimbang menjadi businessman, kamu lebih cocok hidup nyeni. Tapi tak apa, seperti apapun kamu 34 tahun nanti, perasaan saya tidak akan berubah.

Saya memang aneh, bisa dengan yakinnya mengungkapkan hal ini padamu (dan cinta saya ini juga sebenarnya akan sangat aneh bila diketahui orang lain). Tapi, tolong percaya. Kalau misalkan nanti, setelah kita lama tak bertemu, kamu tiba-tiba sadar akan saya, dan rasa untuk saya, tolong jangan menyesal dan berduka saja. Datang, dan hampiri saya, lalu katakanlah. Saya selalu menunggu.

dari yang mencintaimu selalu,
Lara.