sekarang sedang gonjang ganjing orang berbicara perihal selangkangan
dan secara ajaib semua orang menjadi aktivis dadakan

saya hargai mereka yang berbicara karena tahu kebenaran sampai akar-akarnya

tapi untuk mereka yang bicara padahal tahu hanya sekedar kubangan saja
disertai dengan semprot menyemprot
mengeluarkan tahi dan kawan-kawan kotor lainnya

apa bedanya mereka?
bagi mereka itu hal yang sewajarnya
bagi saya juga hal yang sewajarnya
wajar, karena khalayak umum (terutama sosial media) gemar mengotori linimasa sendiri

coba, sebelum mencaci memaki
lihat dulu orang yang tahu duduk perkara
dan memang berkecimpung dalam prahara selangkangan ini

apakah dia mengotori linimasa dengan kotoran?

tidak, karena dia memang tulus ingin membela
bukan sekedar aji mumpung ikut menumpahkan emosi yang tak tertumpahkan

dan membuang-buang tahi
di linimasa sendiri
Mungkin seseorang pernah merasakan cinta yang begitu menggebu-gebu. Begitu meluap-luap, sampai dada terasa sesak, ingin rasanya lari dan menumpahkan semua rasa yang begitu membuncah di dalam dada. Entah menjerit, entah menangis, entah tertawa sepuasnya (dan semuanya kau lakukan tanpa tahu apa alasannya), apapun, asalkan kau bisa merasa lega. Perasaan yang begitu sesak dan tidak mengenakkan, biarpun ia adalah cinta.

Tapi, pernahkah kau berpikir, kenapa kau bisa mencintai sedemikian menggebu-gebu?

Kupikir, mungkin karena kau tidak mengenal dengan dekat dan pasti objek cintamu. Kau pikir dia begitu sempurna, seperti dewa-dewi di khayangan. Padahal dia juga manusia, sama sepertimu, manusia dengan segala keterbatasannya. Cintamu membuat dia terasa begitu sempurna, rasiomu murni tertutup. Tapi coba kau redam dirimu, dan sekali-kali biarkan rasio mengambil alih. Coba lihat dia, bukan sebagai dewa yang kau puja, tapi sebagai manusia biasa. Melihat dan memahami segala kecacatan dan kekurangan yang ada padanya. Dia yang sebagai manusia biasa, dengan relasi yang setara denganmu, bukan sebagai pemuja dengan dewanya.

Saat kau melihat dia dengan kacamata rasio, menjadikan dia manusia biasa yang terjamah, kau mungkin bisa menjadi sedikit lebih tenang. Rasa yang membuncah bisa menyurut, dan kemudian... kau bisa melangkah untuk mendekatinya.

Menghampiri seorang manusia biasa.

Kupu

"Pernahkah kamu jatuh cinta sampai menjadi bodoh?"

Florian terbatuk-batuk, wangi menthol menyeruak masuk ke hidungnya. Pertanyaan itu terlontar begitu saja pada suatu Selasa yang mendung. Asap rokok dan uap kopi yang menyatu menjadi aroma baru yang aneh sempat mengantarkan Florian pada suatu dunia trance, namun kata yang terlontar menarik ia kembali pada dunia nyata. Lara duduk di hadapannya, sebatang rokok terjepit di telunjuk dan jari tengahnya. Entah sudah batang ke berapa, tapi tak apa, karena dari asap Marlboro Black Menthol itulah Florian mendapat akses untuk berpindah dunia. Namun,wangi kopi dari cangkir di hadapannya sudah memudar, kopi itu telah dingin, uapnya sudah habis, mungkin itu sebabnya Florian terpelanting kembali pada kenyataan. Mungkin, bila Tja tidak bertanya.

Sebotol besar Heineken kosong terguling di hadapan lelaki itu, di tangannya tergenggam sebotol besar lain yang isinya tinggal setengah. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, Florian sadar, lelaki itu menariknya kembali agar dia bisa mengambil tempatnya dalam dunia trance. Asap rokok dan uap kopi untuk Florian, alkohol untuk Tja. Jalur berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Lelaki itu menenggak lagi bir langsung dari botolnya, menyisakan hanya seperempat botol sebelum ia melontarkan lagi pertanyaannya. Jatuh cinta sampai menjadi bodoh. Ketika kau bertemu orang yang membuat jalan otakmu macet seketika, yang mengalihkan aliran darahmu dari otak ke jantung. Otakmu kurang berpikir, jantungmu bekerja sangat cepat hingga detaknya tak wajar. Detak yang begtu menyesakkan dada, hingga paru-parumu pun kurang ruang untuk menyimpan udara, membuatmu terengah-engah. Perutmu kontraksi, bibirmu tak bisa berhenti senyum, kata-katamu kacau berantakan. Seluruh tubuhmu malfungsi. Kau berubah, menjadi makhluk bodoh tak terkontrol yang tak kau kenal.

"Seperti kamu sekarang?" suara Lara yang sinis memotong kotbah Tja yang semakin lama semakin ngalor ngidul. Lelaki itu mendengus, kesal bicaranya dipotong. Saat mabuk, Tja kehilangan selera humornya dan menemukan sisi seriusnya. Kacau bicaranya, tapi terasa kesungguhannya. Jangan kau ajak dia bercanda atau meremehkan bicara (atau racaunya?) saat mabuk, saat itu kau sadar benar, bahwa dia sungguh marah padamu.

Berpalinglah ia pada Florian, yang diam tidak berkata. Bagi Tja, Lara itu patung es, yang entah untuk alasan apa ditiupkan roh kedalamnya oleh semesta. Begitu cantik, begitu keras, begitu dingin. Namun begitu takut akan panas yang mencairkannya, menanggalkan es yang melindunginya, menyisakan roh yang begitu rentan dan rapuh. Dia takut kehilangan dirinya, maka dia menolak jatuh cinta. Cinta yang hangat, namun mencairkan. Tidak butuh waktu lama bagi Tja untuk memahami hal ini, karena komentar Lara selalu pedas dan sinis, saat pembicaraan mereka menyentuh topik cinta.

Sedang Florian, selalu berada di awang-awang. Saat berkumpul bertiga, hanya dia yang selalu terasa jauh. Tubuhnya ada bersama, namun jiwanya melayang bebas entah ke mana. Lara sering menegurnya, menariknya kembali dari entah dunia apa yang dikunjunginya saat itu. Dia tidak pernah berkata apapun, apalagi pada saat membicarakan cinta. Setelah ditarik kembali pun, Florian tidak segan untuk lari lagi ke dunai transendentalnya. Tja merasa, dia dengan sengaja dan sukarela menghindari topik tersebut. Entah memang tidak tertarik, atau pernah terluka. Seperti sekarang. Lara langsung sinis, tetapi Florian memalingkan muka dan menatap langit-langit kafe yang muram. Semuram mendung yang kini berubah gerimis di luar sana.

"Pernah atau tidak?" tanya Tja, diletakkannya botol bir kosong itu di hadapan Florian, mengambil kembali semua fokus yang entah terbang kemana sedari tadi.

**

Bibir Florian bergetar, mata Tja kini lurus menantang matanya. Mata yang mengerjap-ngerjap cepat,seperti kesadaran lelaki itu juga yang mengerjap antara ada dan tiada. Lelaki itu tidak sadar, bahwa tangan Florian yang kini menggenggam cangkir kopi dinginnya gemetar. Kakinya bergoyang resah di bawah meja, mencoba meredakan perut yang tiba-tiba kontraksi. Mata lelaki itu, mata Tja, seperti menghidupkan seribu kupu yang sedari tadi coba ia bunuh di dalam perutnya. Kini kupu-kupu itu terbang, bebas menjelajahi tubuhnya, menyebar getar dan rasa tidak tenang yang ia benci. Kupu itu menyumbat aliran menuju otaknya, menghambat proses berpikirnya, mengalihkan seluruh darah ke jantungnya, yang kini harus bekerja keras memompa. Kupu-kupu di dadanya menyesakkan nafas, ia harus berjuang, bahkan hanya untuk mendapat oksigen. Kupu yang berontak ingin keluar dari bibirnya, mati-matian ia tahan. Supaya Tja tidak melihat senyum kakunya, supaya Tja tidak merasa kepak bahagia dari seribu kupu, jelmaan dari rasa cinta yang mati-matian coba ia represi.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Ketika ia rasa lapisan tipis bibirnya tak sanggup menahan kepak sayap dari seribu kupu, ditenggaknya kopi dingin di hadapannya. Kopi yang sedari tadi menerima getar dari tangannya, kopi yang ampasnya kini mengambang tidak mengendap. Florian terbatuk, kali ini bukan karena asap rokok Lara yang tidak bisa mengantarnya ke dunia transendental. Dalam setiap batuknya, keluar kupu-kupu kasat mata, yang terbang sesaat sebelum lebur dengan udara. Kupu-kupu yang mati karena menikmat kafein, bukan madu bunga. Tumpahan kopi saat Florian terbatuk, mengenai bajunya dan membentuk pola kupu-kupu. Kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tidak lebur, karena ia memilih ada bersama Florian ketimbang lari ke udara.

Tja terkejut, mabuknya hilang seketika. Lara langsung mendampratnya, menuduhnya membuat Florian terkejut, sampai tersedak dan menumpahkan kopi, dan lihat kini bajunya pun kotor. Tja yang serius membantah, mengatakan itu bukan salahnya, dan menambah pitam Lara, yang kemudian mengantar mereka pada adu mulut yang mengundang berpasang-pasang mata untuk menonton. Florian mentap pada kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tersisa pada dirinya, dan bergumam pelan,

"Pernah".
karena kamu ada di manapun, maka hanya ini tempat saya bisa bersembunyi

Tja, saya hanya ingin bilang, bukan artinya saya tidak menyukaimu atau memandang rendah dirimu. Memang omongan saya sering pedas, dan jarang sekali memujimu. Kamu terkesan tidak menyukainya, tapi, apakah andai saya selalu memujimu seperti yang selalu dilakukan perempuan lain, apa itu akan membuatmu lebih menyukai saya?

Apapun yang kamu katakan, apapun yang kamu lakukan, saya tidak pernah memandangnya negatif. Saya mengagumimu, sungguh! Kalau kamu memang seburuk itu, saya tidak akan bertahan demikian lama denganmu. Menikmatimu, itu yang selalu saya lakukan dalam diam, saat bersamamu.

Tja, jangan kamu anggap saya selalu melecehkanmu. Jangan jadi benci pada saya. Karena ini adalahs atu-satunya cara, untuk menutupi rasa cinta saya yang setengah mati padamu.
Malaikat kecil itu pernah bertanya, "Mengapa ia meninggalkan kita?"

Saya tak bisa menjawab, lidah saya menjadi daging tak bernyawa. Tak ada jawab, karena saya tak bisa memahami, tidak bisa mengetahui. Apakah saya harus memberi kejujuran, atau saya harus memikirkan kepolosan malaikat kecil ini? Saya tak tahu, saya benar tak tahu.

Malaikat kecil itu pun saya suruh untuk tidur, lebih baik dia menutup mata dan bermimpi daripada dibuat pusing oleh realita. Biar saya saja sendiri yang memutar otak,

manakah yang lebih sulit?

"Mengapa saya ditinggalkan?"

atakah

"Mengapa kau meninggalkan?"

Selamat Berpisah, Lara!

Bukan, bukan begitu
Jangan tatap saya dingin begitu

Karena berpisah tak harus
dengan marah
dengan murka
dengan dendam
dengan dengki
dengan tangis
dengan tragis

Bukan, bukan begitu
Jangan membuang muka begitu

Karena berpisah tak berarti
tak sayang
tak suka
tak rindu
tak resah
tak cemas
tak cinta

Semoga setelah ini kita
Masih bisa saling berkirim kabar
Lewat dinginnya angin malam.

Titik Terendah

Untuk semalam saja, Lara, izinkan saya menguak sisi yang tak pernah sudi saya perlihatkan di depan siapapun. Tidak, jangankan memperlihatkan. Sisi yang tidak mau saya akui ada dalam diri saya.

Bahwa pada akhirnya, harapan yang saya coba bangun, rubuh menimbun saya sendiri. Untuk yang kali ini, saya berpikir saya mungkin ada harapan, dan karena itu saya mencoba, untuk menimbun dan berlaku sebaik-baiknya. Tapi entah kenapa, sama saja seperti yang dulu. Mengulang lingkaran setan. Ah, saya terpuruk dan tertimbun, sampai-sampai saya mulai berpikir, apakah saya memang terlahir tanpa pernah memiliki pilihan. Atau saya meminta terlalu banyak, dan apa yang bisa saya beri tidak mengimbangi permintaan saya. Biasanya, saya akan mencoba menerima, tapi maaf, saya muak terus mendapat apa yang tidak saya inginkan.

Izinkan saya mengeluh, untuk malam ini saja (saya janji ini yang terakhir). Maaf, sungguh maaf. Tapi, apa saya kurang melakukan sesuatu? Saya berjuang sedemikian rupa untuk memperbaiki diri saya. Sampai lelah, sampai kadang saya bingung untuk apa saya melakukan ini semua, karena rasanya jadi sia-sia aja. Orang yang saya inginkan pun tidak peduli, tidak memperhatikan. Saya lelah tersenyum, saya lelah bicara, saya lelah melakukan segala yang bahkan tidak disadari. Saya mati-matian merperesi apa yang sungguh saya inginkan, sampai saya lelah sendiri. Pada satu titik, saya berdoa agar tidak pernah berharap, karena saya lelah punya keinginan yang tidak pernah terkabul.

Sekali saja, permohonan dari lubuk hati yang terdalam, saya mau jadi orang yang merasa puas. Karena inginnya terkabul, biar harus menunggu sekian lama. Sekali saja, jadikan saya orang yang penantiannya bersambut, yang rindunya tidak bertepuk angin saja. Sekali saja, izinkan saya jalan beriringan dengan seseorang yang dengan senang hati saya gandeng tangannya, dan dengan senang hati juga menggenggam tangan saya. Saya minta, sekali saja, saya tidak mencapai titik jenuh ini dalam keadaan sendiri, dan harus bangkit kembali dalam kesendirian juga.

Saya muak belajar, saya muak terus menerus menguatkan diri sendiri, saya muak terus menerus meyakinkan diri kalau semua ini tidak apa-apa, saya capek menunggu. Saya capek berada di zona teman, saya capek jatuh cinta pada orang yang memandang saya sekilas mata saja. Saya capek, Hidup! SAYA CAPEK MENYERAH DAN HARUS BANGKIT LAGI DAN KEMUDIAN MENYERAH LAGI! Kamu jangan bilang saya manja! Saya bukan menyerah tanpa sebab! Saya harus menyerah, karena memang tidak mungkin lagi untuk maju! Karena kalau saya memaksa maju, maka semua akan runyam! Karena manusia tidak bisa mendapat semua yang dia inginkan, dan sayang saya terlahir sebagai manusia!

Manusia yang punya ingin, manusia yang tidak pernah puas... MANUSIA YANG TIDAK BISA MENDAPAT SEMUA YANG DIA INGINKAN! Saya lelah, saya lelah sekali. Kau tak pernah tahu, Lara, rasanya berteriak pada langit, mengharap ada balas yang dapat dia ungkap, namun kau dapat cuma semilir angin kosong, tanpa jawab tanpa maksud.

Ah Lara, malam bertambah pekat, demikian pula otak saya. Pekat sampai saya tak tahu apa saja yang telah saya ungkapkan padamu. Dari sedikit menjadi banyak. Bungkahan yang meledak setelah bebas dari represi. Tapi tenang, Lara. Jangan kamu khawatir harus melihat saya yang pecah belah. Esok bersama dengan terbitnya matahari, kau akan temukan saya tersenyum seperti biasa. Seolah saya tak pernah pecah, seolah tak pernah ada apapun yang terungkap. Karena, semua hanya ada pada malam ini. Malam yang menutup hari (atau kisah). Sekali lagi, saya meminta maaf apabila terlalu emosional.

Selamat malam,
Florian.