sekarang sedang gonjang ganjing orang berbicara perihal selangkangan
dan secara ajaib semua orang menjadi aktivis dadakan

saya hargai mereka yang berbicara karena tahu kebenaran sampai akar-akarnya

tapi untuk mereka yang bicara padahal tahu hanya sekedar kubangan saja
disertai dengan semprot menyemprot
mengeluarkan tahi dan kawan-kawan kotor lainnya

apa bedanya mereka?
bagi mereka itu hal yang sewajarnya
bagi saya juga hal yang sewajarnya
wajar, karena khalayak umum (terutama sosial media) gemar mengotori linimasa sendiri

coba, sebelum mencaci memaki
lihat dulu orang yang tahu duduk perkara
dan memang berkecimpung dalam prahara selangkangan ini

apakah dia mengotori linimasa dengan kotoran?

tidak, karena dia memang tulus ingin membela
bukan sekedar aji mumpung ikut menumpahkan emosi yang tak tertumpahkan

dan membuang-buang tahi
di linimasa sendiri
Mungkin seseorang pernah merasakan cinta yang begitu menggebu-gebu. Begitu meluap-luap, sampai dada terasa sesak, ingin rasanya lari dan menumpahkan semua rasa yang begitu membuncah di dalam dada. Entah menjerit, entah menangis, entah tertawa sepuasnya (dan semuanya kau lakukan tanpa tahu apa alasannya), apapun, asalkan kau bisa merasa lega. Perasaan yang begitu sesak dan tidak mengenakkan, biarpun ia adalah cinta.

Tapi, pernahkah kau berpikir, kenapa kau bisa mencintai sedemikian menggebu-gebu?

Kupikir, mungkin karena kau tidak mengenal dengan dekat dan pasti objek cintamu. Kau pikir dia begitu sempurna, seperti dewa-dewi di khayangan. Padahal dia juga manusia, sama sepertimu, manusia dengan segala keterbatasannya. Cintamu membuat dia terasa begitu sempurna, rasiomu murni tertutup. Tapi coba kau redam dirimu, dan sekali-kali biarkan rasio mengambil alih. Coba lihat dia, bukan sebagai dewa yang kau puja, tapi sebagai manusia biasa. Melihat dan memahami segala kecacatan dan kekurangan yang ada padanya. Dia yang sebagai manusia biasa, dengan relasi yang setara denganmu, bukan sebagai pemuja dengan dewanya.

Saat kau melihat dia dengan kacamata rasio, menjadikan dia manusia biasa yang terjamah, kau mungkin bisa menjadi sedikit lebih tenang. Rasa yang membuncah bisa menyurut, dan kemudian... kau bisa melangkah untuk mendekatinya.

Menghampiri seorang manusia biasa.

Kupu

"Pernahkah kamu jatuh cinta sampai menjadi bodoh?"

Florian terbatuk-batuk, wangi menthol menyeruak masuk ke hidungnya. Pertanyaan itu terlontar begitu saja pada suatu Selasa yang mendung. Asap rokok dan uap kopi yang menyatu menjadi aroma baru yang aneh sempat mengantarkan Florian pada suatu dunia trance, namun kata yang terlontar menarik ia kembali pada dunia nyata. Lara duduk di hadapannya, sebatang rokok terjepit di telunjuk dan jari tengahnya. Entah sudah batang ke berapa, tapi tak apa, karena dari asap Marlboro Black Menthol itulah Florian mendapat akses untuk berpindah dunia. Namun,wangi kopi dari cangkir di hadapannya sudah memudar, kopi itu telah dingin, uapnya sudah habis, mungkin itu sebabnya Florian terpelanting kembali pada kenyataan. Mungkin, bila Tja tidak bertanya.

Sebotol besar Heineken kosong terguling di hadapan lelaki itu, di tangannya tergenggam sebotol besar lain yang isinya tinggal setengah. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, Florian sadar, lelaki itu menariknya kembali agar dia bisa mengambil tempatnya dalam dunia trance. Asap rokok dan uap kopi untuk Florian, alkohol untuk Tja. Jalur berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Lelaki itu menenggak lagi bir langsung dari botolnya, menyisakan hanya seperempat botol sebelum ia melontarkan lagi pertanyaannya. Jatuh cinta sampai menjadi bodoh. Ketika kau bertemu orang yang membuat jalan otakmu macet seketika, yang mengalihkan aliran darahmu dari otak ke jantung. Otakmu kurang berpikir, jantungmu bekerja sangat cepat hingga detaknya tak wajar. Detak yang begtu menyesakkan dada, hingga paru-parumu pun kurang ruang untuk menyimpan udara, membuatmu terengah-engah. Perutmu kontraksi, bibirmu tak bisa berhenti senyum, kata-katamu kacau berantakan. Seluruh tubuhmu malfungsi. Kau berubah, menjadi makhluk bodoh tak terkontrol yang tak kau kenal.

"Seperti kamu sekarang?" suara Lara yang sinis memotong kotbah Tja yang semakin lama semakin ngalor ngidul. Lelaki itu mendengus, kesal bicaranya dipotong. Saat mabuk, Tja kehilangan selera humornya dan menemukan sisi seriusnya. Kacau bicaranya, tapi terasa kesungguhannya. Jangan kau ajak dia bercanda atau meremehkan bicara (atau racaunya?) saat mabuk, saat itu kau sadar benar, bahwa dia sungguh marah padamu.

Berpalinglah ia pada Florian, yang diam tidak berkata. Bagi Tja, Lara itu patung es, yang entah untuk alasan apa ditiupkan roh kedalamnya oleh semesta. Begitu cantik, begitu keras, begitu dingin. Namun begitu takut akan panas yang mencairkannya, menanggalkan es yang melindunginya, menyisakan roh yang begitu rentan dan rapuh. Dia takut kehilangan dirinya, maka dia menolak jatuh cinta. Cinta yang hangat, namun mencairkan. Tidak butuh waktu lama bagi Tja untuk memahami hal ini, karena komentar Lara selalu pedas dan sinis, saat pembicaraan mereka menyentuh topik cinta.

Sedang Florian, selalu berada di awang-awang. Saat berkumpul bertiga, hanya dia yang selalu terasa jauh. Tubuhnya ada bersama, namun jiwanya melayang bebas entah ke mana. Lara sering menegurnya, menariknya kembali dari entah dunia apa yang dikunjunginya saat itu. Dia tidak pernah berkata apapun, apalagi pada saat membicarakan cinta. Setelah ditarik kembali pun, Florian tidak segan untuk lari lagi ke dunai transendentalnya. Tja merasa, dia dengan sengaja dan sukarela menghindari topik tersebut. Entah memang tidak tertarik, atau pernah terluka. Seperti sekarang. Lara langsung sinis, tetapi Florian memalingkan muka dan menatap langit-langit kafe yang muram. Semuram mendung yang kini berubah gerimis di luar sana.

"Pernah atau tidak?" tanya Tja, diletakkannya botol bir kosong itu di hadapan Florian, mengambil kembali semua fokus yang entah terbang kemana sedari tadi.

**

Bibir Florian bergetar, mata Tja kini lurus menantang matanya. Mata yang mengerjap-ngerjap cepat,seperti kesadaran lelaki itu juga yang mengerjap antara ada dan tiada. Lelaki itu tidak sadar, bahwa tangan Florian yang kini menggenggam cangkir kopi dinginnya gemetar. Kakinya bergoyang resah di bawah meja, mencoba meredakan perut yang tiba-tiba kontraksi. Mata lelaki itu, mata Tja, seperti menghidupkan seribu kupu yang sedari tadi coba ia bunuh di dalam perutnya. Kini kupu-kupu itu terbang, bebas menjelajahi tubuhnya, menyebar getar dan rasa tidak tenang yang ia benci. Kupu itu menyumbat aliran menuju otaknya, menghambat proses berpikirnya, mengalihkan seluruh darah ke jantungnya, yang kini harus bekerja keras memompa. Kupu-kupu di dadanya menyesakkan nafas, ia harus berjuang, bahkan hanya untuk mendapat oksigen. Kupu yang berontak ingin keluar dari bibirnya, mati-matian ia tahan. Supaya Tja tidak melihat senyum kakunya, supaya Tja tidak merasa kepak bahagia dari seribu kupu, jelmaan dari rasa cinta yang mati-matian coba ia represi.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Ketika ia rasa lapisan tipis bibirnya tak sanggup menahan kepak sayap dari seribu kupu, ditenggaknya kopi dingin di hadapannya. Kopi yang sedari tadi menerima getar dari tangannya, kopi yang ampasnya kini mengambang tidak mengendap. Florian terbatuk, kali ini bukan karena asap rokok Lara yang tidak bisa mengantarnya ke dunia transendental. Dalam setiap batuknya, keluar kupu-kupu kasat mata, yang terbang sesaat sebelum lebur dengan udara. Kupu-kupu yang mati karena menikmat kafein, bukan madu bunga. Tumpahan kopi saat Florian terbatuk, mengenai bajunya dan membentuk pola kupu-kupu. Kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tidak lebur, karena ia memilih ada bersama Florian ketimbang lari ke udara.

Tja terkejut, mabuknya hilang seketika. Lara langsung mendampratnya, menuduhnya membuat Florian terkejut, sampai tersedak dan menumpahkan kopi, dan lihat kini bajunya pun kotor. Tja yang serius membantah, mengatakan itu bukan salahnya, dan menambah pitam Lara, yang kemudian mengantar mereka pada adu mulut yang mengundang berpasang-pasang mata untuk menonton. Florian mentap pada kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tersisa pada dirinya, dan bergumam pelan,

"Pernah".
karena kamu ada di manapun, maka hanya ini tempat saya bisa bersembunyi

Tja, saya hanya ingin bilang, bukan artinya saya tidak menyukaimu atau memandang rendah dirimu. Memang omongan saya sering pedas, dan jarang sekali memujimu. Kamu terkesan tidak menyukainya, tapi, apakah andai saya selalu memujimu seperti yang selalu dilakukan perempuan lain, apa itu akan membuatmu lebih menyukai saya?

Apapun yang kamu katakan, apapun yang kamu lakukan, saya tidak pernah memandangnya negatif. Saya mengagumimu, sungguh! Kalau kamu memang seburuk itu, saya tidak akan bertahan demikian lama denganmu. Menikmatimu, itu yang selalu saya lakukan dalam diam, saat bersamamu.

Tja, jangan kamu anggap saya selalu melecehkanmu. Jangan jadi benci pada saya. Karena ini adalahs atu-satunya cara, untuk menutupi rasa cinta saya yang setengah mati padamu.
Malaikat kecil itu pernah bertanya, "Mengapa ia meninggalkan kita?"

Saya tak bisa menjawab, lidah saya menjadi daging tak bernyawa. Tak ada jawab, karena saya tak bisa memahami, tidak bisa mengetahui. Apakah saya harus memberi kejujuran, atau saya harus memikirkan kepolosan malaikat kecil ini? Saya tak tahu, saya benar tak tahu.

Malaikat kecil itu pun saya suruh untuk tidur, lebih baik dia menutup mata dan bermimpi daripada dibuat pusing oleh realita. Biar saya saja sendiri yang memutar otak,

manakah yang lebih sulit?

"Mengapa saya ditinggalkan?"

atakah

"Mengapa kau meninggalkan?"

Selamat Berpisah, Lara!

Bukan, bukan begitu
Jangan tatap saya dingin begitu

Karena berpisah tak harus
dengan marah
dengan murka
dengan dendam
dengan dengki
dengan tangis
dengan tragis

Bukan, bukan begitu
Jangan membuang muka begitu

Karena berpisah tak berarti
tak sayang
tak suka
tak rindu
tak resah
tak cemas
tak cinta

Semoga setelah ini kita
Masih bisa saling berkirim kabar
Lewat dinginnya angin malam.

Titik Terendah

Untuk semalam saja, Lara, izinkan saya menguak sisi yang tak pernah sudi saya perlihatkan di depan siapapun. Tidak, jangankan memperlihatkan. Sisi yang tidak mau saya akui ada dalam diri saya.

Bahwa pada akhirnya, harapan yang saya coba bangun, rubuh menimbun saya sendiri. Untuk yang kali ini, saya berpikir saya mungkin ada harapan, dan karena itu saya mencoba, untuk menimbun dan berlaku sebaik-baiknya. Tapi entah kenapa, sama saja seperti yang dulu. Mengulang lingkaran setan. Ah, saya terpuruk dan tertimbun, sampai-sampai saya mulai berpikir, apakah saya memang terlahir tanpa pernah memiliki pilihan. Atau saya meminta terlalu banyak, dan apa yang bisa saya beri tidak mengimbangi permintaan saya. Biasanya, saya akan mencoba menerima, tapi maaf, saya muak terus mendapat apa yang tidak saya inginkan.

Izinkan saya mengeluh, untuk malam ini saja (saya janji ini yang terakhir). Maaf, sungguh maaf. Tapi, apa saya kurang melakukan sesuatu? Saya berjuang sedemikian rupa untuk memperbaiki diri saya. Sampai lelah, sampai kadang saya bingung untuk apa saya melakukan ini semua, karena rasanya jadi sia-sia aja. Orang yang saya inginkan pun tidak peduli, tidak memperhatikan. Saya lelah tersenyum, saya lelah bicara, saya lelah melakukan segala yang bahkan tidak disadari. Saya mati-matian merperesi apa yang sungguh saya inginkan, sampai saya lelah sendiri. Pada satu titik, saya berdoa agar tidak pernah berharap, karena saya lelah punya keinginan yang tidak pernah terkabul.

Sekali saja, permohonan dari lubuk hati yang terdalam, saya mau jadi orang yang merasa puas. Karena inginnya terkabul, biar harus menunggu sekian lama. Sekali saja, jadikan saya orang yang penantiannya bersambut, yang rindunya tidak bertepuk angin saja. Sekali saja, izinkan saya jalan beriringan dengan seseorang yang dengan senang hati saya gandeng tangannya, dan dengan senang hati juga menggenggam tangan saya. Saya minta, sekali saja, saya tidak mencapai titik jenuh ini dalam keadaan sendiri, dan harus bangkit kembali dalam kesendirian juga.

Saya muak belajar, saya muak terus menerus menguatkan diri sendiri, saya muak terus menerus meyakinkan diri kalau semua ini tidak apa-apa, saya capek menunggu. Saya capek berada di zona teman, saya capek jatuh cinta pada orang yang memandang saya sekilas mata saja. Saya capek, Hidup! SAYA CAPEK MENYERAH DAN HARUS BANGKIT LAGI DAN KEMUDIAN MENYERAH LAGI! Kamu jangan bilang saya manja! Saya bukan menyerah tanpa sebab! Saya harus menyerah, karena memang tidak mungkin lagi untuk maju! Karena kalau saya memaksa maju, maka semua akan runyam! Karena manusia tidak bisa mendapat semua yang dia inginkan, dan sayang saya terlahir sebagai manusia!

Manusia yang punya ingin, manusia yang tidak pernah puas... MANUSIA YANG TIDAK BISA MENDAPAT SEMUA YANG DIA INGINKAN! Saya lelah, saya lelah sekali. Kau tak pernah tahu, Lara, rasanya berteriak pada langit, mengharap ada balas yang dapat dia ungkap, namun kau dapat cuma semilir angin kosong, tanpa jawab tanpa maksud.

Ah Lara, malam bertambah pekat, demikian pula otak saya. Pekat sampai saya tak tahu apa saja yang telah saya ungkapkan padamu. Dari sedikit menjadi banyak. Bungkahan yang meledak setelah bebas dari represi. Tapi tenang, Lara. Jangan kamu khawatir harus melihat saya yang pecah belah. Esok bersama dengan terbitnya matahari, kau akan temukan saya tersenyum seperti biasa. Seolah saya tak pernah pecah, seolah tak pernah ada apapun yang terungkap. Karena, semua hanya ada pada malam ini. Malam yang menutup hari (atau kisah). Sekali lagi, saya meminta maaf apabila terlalu emosional.

Selamat malam,
Florian.

Tentangmu

"Melankoli datang dari rasa tidak bisa memiliki..."*

Namun, Sayang, kau memiliki. Tapi apa yang kau kira telah kau miliki itu ternyata berbalik mengambil alih dirimu. Lalu melankoli itu datang kembali.

Memang, kau telah mendapatkan apa yang kau mau, tapi kau harus membayarnya dengan dirimu sendiri. Dan melankoli yang kini datang kembali, adalah suatu rasa tak bisa memiliki apa yang dulunya pernah menjadi milikmu.

Kau terjebak dalam lingkaran setan. Apapun yang kau pilih, melankoli akan terus memelukmu.

untuk seorang yang hidupnya terus dirundung masa lalu
seberapa pun usahamu lari
tapi selama kau masih menggenggam
(dan menolak mengakui)
kau tak akan lepas dari lingkaran setan

Coffee Toffee, 30 September 2013.
15.59

*Ayu Utami


Lara, Sayang

Lara, sayang
kamu bisa membeli semua puisi dan cerita
yang kamu inginkan
dan membacakannya padaku
seolah milikmu sendiri

Lara, sayang
ada yang menantimu
untuk mengisahkan padanya
semua puisi dan cerita
buatanmu sendiri

JumpFromPaper!

I really love bags, especially eye-catching bags.

Maka ketika menemukan brand ini dari majalah NYLON edisi Juli 2013, tidak ada hal lain yang bisa gua lakukan kecuali... terbengong-bengong. Sebelumnya, gua pernah selintas menemukan tas-tas model begini berseliweran entah di mana. Waktu itu, sayangnya, gua lupa dan nggak memberikan perhatian lebih lanjut. Gua cuma mikir, "Wow, lucu" dan udah, selesai. Tidak ada penelitian ataupun penelusuran merk apa, kisaran harga berapa, modelnya apa aja, dan lainnya. That WAS so STUPID.

Kemudian, di NYLON, gua menemukan merk ini, JumpFromPaper! dengan gambar seorang model memegang tas yang kelihatannya 2D, tetapi sesungguhnya 3D, like your everyday bag, but cuter. Tertarik dan penasaran, gua langsung menyelam ke situs aslinya, dan "menggeledah". They are such eye-candies.

Merk yang digawangi oleh mahasiswi komunikasi dari Taiwan ini, Rika Lin dan Chai Su, memiliki filosofi "born to enjoy life!". Well, they are. They even mentioned "...adds a sense of quirkiness to conventional bag designs". Who doesn't like something quirky and fresh? Setelah mencuci mata, di web, gua akan mempost beberapa desain yang sangat...sangat...sangat...ingin gua beli :

Afternoon Tea
Classic and pretty. I love the color and design very much. It does suit for moments when you are hanging out with your girlfriends, and having nice chitchat with some cups of tea.

Hola
A very fun and summery bag. White and orange color give a really fresh vibe. The size is also perfect for shopping or, maybe some business. Wear sandals, summer dress, and a big broad hat, then complete your look with a pair of vintage orange-y sunglasses. Vintage perfect 2D going 3D summer outfit!

Scooter
If I could ever buy the Hola, then I want my boy to use this Scooter. Very vintage, just like the name, it will suit very well with preppy boys. Love the color combination too. Anyway, this bag is from JumpFromPaper!'s Limited Edition, titled Time Machine. The next pick will also come from the same collection...

Martini
I don't really have things for handbags, especially small sized ones. It doesn't fit me, and I'm not a type of person who can just go with very few things. I have my tablet, phone, notebook, and blah blah blah, which can't be fitted into small handbag. But Martini, it's just, how should I put it, irresistible. I can make excuses just to have this bag. It's like something that jumped out right from a vintage comic. The color, the design, aaaah, lovely.

Jadi, itulah tas-tas yang membuat gua hilang kendali dan harus mati-matian merepresi hasrat belanja yang mendadak membuncah (haven't bought any shoes or bags lately, I'm suffering). Mungkin awalnya akan terlihat aneh dan janggal di mata orang-orang saat anda berjalan-jalan dengan memakai tas seperti ini. they will think like, "What is this weirdo doing, bringing a print-out bag picture just like that?", but when you take something out from the "print-out bag", they will be very amazed, and maybe some fashionistas will ask about where they can get the baby

Gawat, mulai delusional, bahkan gua belum punya tasnya tapi sudah membayangkan apa yang akan terjadi seandainya gua pergi membawa tas ini... well, it's alright, though. Imagination is limitless, and it's not a crime either. Jadi, apa yang kalian tunggu? Jangan segan untuk mencuci mata kalian dengan keimutan tas-tas di JumpFromPaper! ini, dan mari kita berdoa berjamaah supaya mereka shipping ke Indonesia.

xx

Lara, saya iri padamu. Biarpun kamu selalu bilang kamu tidak pernah merasa hidup, tapi kamu masih punya mimpi. Kamu adalah batu, tapi kamu bidadari dalam mimpi-mimpimu. Kamu bisa menari lincah, mengarung udara di saat kamu membatu bertahan menantang arus kehidupan.

Saya, Lara, mimpi saja tidak punya. Hidup nyata, batu saja saya bukan. Apakah saya? Apa juga itu hidup? Apakah saya hidup?

Menata Pikiran (Menjadi Tua)

Semenjak kuliah usai dan memasuki fase liburan, isi kepala ini menjadi tercampur aduk. Saya tidak bisa mengingat informasi apa ada di mana, darimana saya mendapatkan informasi ini, kenapa saya bisa mempunyai ingatan seperti ini, semua begitu teraduk-aduk hingga saya sendiri bahkan tidak mengerti apa isi kepala saya. 3 tahun yang lalu, di paruh ujung jenjang SMA, saya pernah membuat tulisan berjudul Ambang. Dalam tulisan tersebut, karakter utama sekaligus narator, bercerita tentang dirinya yang berada dalam suatu kondisi di mana ia hanya melayang. Tidak menyentuh atap, juga tidak menjejak lantai. Dia tidak berada di dalam kamar, tetapi juga tidak berada di luarnya. Dia berada di ambang. Suatu kondisi ketidakpastian, di mana memang tidak ada sesuatu yang berdiri tegak menjejak. Semuanya melayang, beterbangan tak tentu arah. Karakter utama menikmati keadaan itu, tanpa kepastian.

Sekarang saya adalah si karakter utama (sesaat rasanya saya seperti meramalkan keadaan saya sendiri), yang tak menjejak apapun. Hidup berjalan dengan campur aduk, di mana tanggal tak pernah berjalan, jarum jam hanyalah representasi dari pergerakan tak bermakna, demikian pula dengan terang gelap di luar jendela rumah. Tidak ada yang signifikan. Saya hidup dalam ambang, di mana semuanya adalah abstrak.

Pertama saya pikir akan terasa nikmat.

Tapi tidak.

Rupa-rupanya, pola hidup yang serba terstruktur dan serba pasti lainnya telah merubah pola pikir saya. Saya terbiasa menghadapi semua yang konkrit, pasti. Hidup abstrak yang saya impikan dulu semasa SMA, waktu semua terasa begitu pasti dan teratur, membuat saya tidak nyaman. Semua terasa aneh, hal yang berseliweran begitu saja, memori dan informasi yang muncul entah darimana tanpa saya mampu mengingat, begitu aneh. Begitu tidak nyaman. Saya tidak bisa hidup begini, saya harus menata ulang hidup saya, pikiran saya. Semuanya harus serba teratur, serba pasti dan rapi. Detik jam, setiap yang berlalu, adalah sesuatu yang berarti, pergantian tanggal adalah suatu bukti bumi masih terus berputar. Semuanya harus signifikan dan teratur.

Saya tidak boleh main-main dan cuek lagi. Waktu begitu berharga. Karena saya telah menjadi dewasa, saya bukan anak-anak lagi.

Saya telah menjadi tua.

Puncak Rindu

kilat lampu kota
suara roda yang menggilas rel

syukur yang kau tahu bukan

cinta di mataku
suara jantung yang akan meledak
Menurut Lara, hatinya yang berlapis-lapis itu lebih sulit untuk dilukai, dan hal itu membuatnya menjadi wanita yang kuat dan tegar. Karena dia tidak akan bisa hancur, tidak akan bisa dilukai. Pelapisnya boleh robek ataupun tercoreng, tetapi tidak hatinya. Masih mulus seperti batu marmer. Mulus, licin, dan dingin.

Menurut Florian, hati yang telanjang apa adanya itu adalah hati yang sebenarnya. Dia menjadi kuat, setelah berkali-kali dicoreng dan dibaret. Terbiasa untuk terluka, dan bangkit kembali dari kejatuhan. Hati Florian penuh luka dan baret, sedikit kenyal namun pejal. Berdetak hangat dan hidup.
Maka berbahagialah para orang-orang karbitan itu. Mereka tidak pernah punya pegangan yang tetap, jadi mereka tidak akan tahu apa rasa kehilangan yang sesungguhnya.

Berdoalah supaya cintamu juga cinta karbitan, jadi kamu tidak pernah tahu apa rasa patah hati yang sesungguhnya.
Semua orang mau dianggap spesial, jadi kenapa saya juga harus mau dianggap demikian? Apa yang membedakan saya? Saya sama saja dong seperti mereka yang mau dianggap spesial. Peduli amat. Yang spesial cuma makanan.
Akan ada titik di mana anda akan mencoba untuk menghilangkan segala rasa yang ada dan belajar untuk hidup dalam kehambaran. Ada baiknya bila sebelum segala sesuatu menjadi hambar, anda cecap baik-baik segala yang ada. Karena apabila nanti segala sesuatu berubah menjadi monton, akan ada sedikit kenangan tentang rasa yang berbeda, entah itu berupa lonjakan ke atas atau sekedar jatuh bebas ke bawah.

Nikmatilah sedikit rasa kemanusiaan sebelum anda berubah sepenuhnya menjadi robot.

Mengobjekkan Diri

Kemarin, ketika saya sedang mengunjungi sebuah pura di daerah Bogor, saya melihat begitu banyak orang yang membawa kamera saku, iPad, kamera handphone dan semacamnya, sibuk sekali mengambil banyak foto. Kalau foto patung yang ada di pura, atau foto alam di sana yang masih hijau, maka saya akan memaklumi, pemandangan itu jarang sekali ditemukan apabila anda berasal dari kota besar. Tapi yang sibuk mereka jadikan objek foto adalah dirinya sendiri. Pemandangan tersebut saya anggap sebagai sesuatu yang sangat aneh.

Saya pikir, sejak awal, manusia itu dilahirkan sebagai sebuah subjek, sebagai sesuatu yang memandang dan menilai. Apalagi setelah mereka memegang kamera, yaitu sebuah alat untuk menangkap gambar ataupun pemandangan - sebuah objek. Dengan memegang alat tersebut, menurut saya, kesubjekan manusia telah menjadi sesuatu yang absolut. Mereka adalah subjek, yang akan menangkap objek dengan menggunakan kamera. Begitulah seharusnya. Tetapi pada kenyataan yang saya lihat kemarin, justru malah banyak yang menggunakan kamera itu untuk mengambil gambar mereka. Menggeser status mereka sebagai subjek absolut menjadi subjek. Saya tidak bisa tidak heran, mengapa mereka, sambil tersenyum bahagia, mendegradasi diri mereka sendiri.

Dengan menjadi objek, maka seorang kehilangan hak dan kendali atas dirinya sendiri. Mereka menjadi sesuatu yang ditangkap, tanpa persiapan apapun dan tidak bisa menentukan dalam kondisi apakah mereka mau difoto. Lain cerita kalau anda menjadi model bagi orang lain, menurut saya itu adalah perjanjian antara subjek dan subjek yang dijadikan objek, tetapi dengan kesadaran sebagai subjek. Model sebagai objek bukan dalam kondisi objek tidak berdaya, tetapi sebagai objek yang diminta oleh subjek lain, dan untuk itu, dia masih memiliki hak kesubjekannya. Objek yang sekaligus subjek. Dia berhak menentukan gaya dan ekspresinya sendiri. Poin terpentingnya, seorang model menjadi objek bukan atas kemauannya sendiri secara cuma-cuma, tetapi atas persetujuan, dan dia mendapatkan keuntungan dari persetujuan tersebut. Bukan objek cuma-cuma yang tidak ada nilainya.

Poin yang hendak saya sampaikan, setelah melihat para objek cuma-cuma tersebut (orang yang terlalu sibuk menjadikan dirinya sebagai objek dan lupa akan adanya objek yang sesungguhnya), adalah lucu melihat bagaimana manusia dengan senang hati dan relanya menurunkan derajatnya sendiri. Pertama, dengan menjadikan diri sebagai objek dari kameranya, bukan lagi manusia yang mengendalikan kamera, tetapi manusia dikendalikan kamera. Orang jadi sibuk menyesuaikan diri dengan kameranya, sibuk menyusun posisi yang pas, sibuk memasang timer dan kemudian terburu-buru mengambil posisi terbaik (yang seringkali telat sehingga gambar keburu terambil sebelum dia dapat posisi yang pas). Mereka kehilangan hak sebagai subjek, dan malah jadi objek (yang mirisnya) dari sebuah benda.

Berbahagialah mereka yang masih punya kesadaran sebagai subjek, mereka bebas menentukan dirinya sendiri.

Tahun Baru

Selamat tahun baru, Lara
berjanjilah untuk tidak pernah berubah
untuk tidak menjadi seperti yang kebanyakan
yang berubah hanya pada tahun baru

kamu boleh berubah kapanpun yang kamu mau.

tidak perlu tahun baru.