Titik Terendah

Untuk semalam saja, Lara, izinkan saya menguak sisi yang tak pernah sudi saya perlihatkan di depan siapapun. Tidak, jangankan memperlihatkan. Sisi yang tidak mau saya akui ada dalam diri saya.

Bahwa pada akhirnya, harapan yang saya coba bangun, rubuh menimbun saya sendiri. Untuk yang kali ini, saya berpikir saya mungkin ada harapan, dan karena itu saya mencoba, untuk menimbun dan berlaku sebaik-baiknya. Tapi entah kenapa, sama saja seperti yang dulu. Mengulang lingkaran setan. Ah, saya terpuruk dan tertimbun, sampai-sampai saya mulai berpikir, apakah saya memang terlahir tanpa pernah memiliki pilihan. Atau saya meminta terlalu banyak, dan apa yang bisa saya beri tidak mengimbangi permintaan saya. Biasanya, saya akan mencoba menerima, tapi maaf, saya muak terus mendapat apa yang tidak saya inginkan.

Izinkan saya mengeluh, untuk malam ini saja (saya janji ini yang terakhir). Maaf, sungguh maaf. Tapi, apa saya kurang melakukan sesuatu? Saya berjuang sedemikian rupa untuk memperbaiki diri saya. Sampai lelah, sampai kadang saya bingung untuk apa saya melakukan ini semua, karena rasanya jadi sia-sia aja. Orang yang saya inginkan pun tidak peduli, tidak memperhatikan. Saya lelah tersenyum, saya lelah bicara, saya lelah melakukan segala yang bahkan tidak disadari. Saya mati-matian merperesi apa yang sungguh saya inginkan, sampai saya lelah sendiri. Pada satu titik, saya berdoa agar tidak pernah berharap, karena saya lelah punya keinginan yang tidak pernah terkabul.

Sekali saja, permohonan dari lubuk hati yang terdalam, saya mau jadi orang yang merasa puas. Karena inginnya terkabul, biar harus menunggu sekian lama. Sekali saja, jadikan saya orang yang penantiannya bersambut, yang rindunya tidak bertepuk angin saja. Sekali saja, izinkan saya jalan beriringan dengan seseorang yang dengan senang hati saya gandeng tangannya, dan dengan senang hati juga menggenggam tangan saya. Saya minta, sekali saja, saya tidak mencapai titik jenuh ini dalam keadaan sendiri, dan harus bangkit kembali dalam kesendirian juga.

Saya muak belajar, saya muak terus menerus menguatkan diri sendiri, saya muak terus menerus meyakinkan diri kalau semua ini tidak apa-apa, saya capek menunggu. Saya capek berada di zona teman, saya capek jatuh cinta pada orang yang memandang saya sekilas mata saja. Saya capek, Hidup! SAYA CAPEK MENYERAH DAN HARUS BANGKIT LAGI DAN KEMUDIAN MENYERAH LAGI! Kamu jangan bilang saya manja! Saya bukan menyerah tanpa sebab! Saya harus menyerah, karena memang tidak mungkin lagi untuk maju! Karena kalau saya memaksa maju, maka semua akan runyam! Karena manusia tidak bisa mendapat semua yang dia inginkan, dan sayang saya terlahir sebagai manusia!

Manusia yang punya ingin, manusia yang tidak pernah puas... MANUSIA YANG TIDAK BISA MENDAPAT SEMUA YANG DIA INGINKAN! Saya lelah, saya lelah sekali. Kau tak pernah tahu, Lara, rasanya berteriak pada langit, mengharap ada balas yang dapat dia ungkap, namun kau dapat cuma semilir angin kosong, tanpa jawab tanpa maksud.

Ah Lara, malam bertambah pekat, demikian pula otak saya. Pekat sampai saya tak tahu apa saja yang telah saya ungkapkan padamu. Dari sedikit menjadi banyak. Bungkahan yang meledak setelah bebas dari represi. Tapi tenang, Lara. Jangan kamu khawatir harus melihat saya yang pecah belah. Esok bersama dengan terbitnya matahari, kau akan temukan saya tersenyum seperti biasa. Seolah saya tak pernah pecah, seolah tak pernah ada apapun yang terungkap. Karena, semua hanya ada pada malam ini. Malam yang menutup hari (atau kisah). Sekali lagi, saya meminta maaf apabila terlalu emosional.

Selamat malam,
Florian.

Tidak ada komentar: