Kupu

"Pernahkah kamu jatuh cinta sampai menjadi bodoh?"

Florian terbatuk-batuk, wangi menthol menyeruak masuk ke hidungnya. Pertanyaan itu terlontar begitu saja pada suatu Selasa yang mendung. Asap rokok dan uap kopi yang menyatu menjadi aroma baru yang aneh sempat mengantarkan Florian pada suatu dunia trance, namun kata yang terlontar menarik ia kembali pada dunia nyata. Lara duduk di hadapannya, sebatang rokok terjepit di telunjuk dan jari tengahnya. Entah sudah batang ke berapa, tapi tak apa, karena dari asap Marlboro Black Menthol itulah Florian mendapat akses untuk berpindah dunia. Namun,wangi kopi dari cangkir di hadapannya sudah memudar, kopi itu telah dingin, uapnya sudah habis, mungkin itu sebabnya Florian terpelanting kembali pada kenyataan. Mungkin, bila Tja tidak bertanya.

Sebotol besar Heineken kosong terguling di hadapan lelaki itu, di tangannya tergenggam sebotol besar lain yang isinya tinggal setengah. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, Florian sadar, lelaki itu menariknya kembali agar dia bisa mengambil tempatnya dalam dunia trance. Asap rokok dan uap kopi untuk Florian, alkohol untuk Tja. Jalur berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Lelaki itu menenggak lagi bir langsung dari botolnya, menyisakan hanya seperempat botol sebelum ia melontarkan lagi pertanyaannya. Jatuh cinta sampai menjadi bodoh. Ketika kau bertemu orang yang membuat jalan otakmu macet seketika, yang mengalihkan aliran darahmu dari otak ke jantung. Otakmu kurang berpikir, jantungmu bekerja sangat cepat hingga detaknya tak wajar. Detak yang begtu menyesakkan dada, hingga paru-parumu pun kurang ruang untuk menyimpan udara, membuatmu terengah-engah. Perutmu kontraksi, bibirmu tak bisa berhenti senyum, kata-katamu kacau berantakan. Seluruh tubuhmu malfungsi. Kau berubah, menjadi makhluk bodoh tak terkontrol yang tak kau kenal.

"Seperti kamu sekarang?" suara Lara yang sinis memotong kotbah Tja yang semakin lama semakin ngalor ngidul. Lelaki itu mendengus, kesal bicaranya dipotong. Saat mabuk, Tja kehilangan selera humornya dan menemukan sisi seriusnya. Kacau bicaranya, tapi terasa kesungguhannya. Jangan kau ajak dia bercanda atau meremehkan bicara (atau racaunya?) saat mabuk, saat itu kau sadar benar, bahwa dia sungguh marah padamu.

Berpalinglah ia pada Florian, yang diam tidak berkata. Bagi Tja, Lara itu patung es, yang entah untuk alasan apa ditiupkan roh kedalamnya oleh semesta. Begitu cantik, begitu keras, begitu dingin. Namun begitu takut akan panas yang mencairkannya, menanggalkan es yang melindunginya, menyisakan roh yang begitu rentan dan rapuh. Dia takut kehilangan dirinya, maka dia menolak jatuh cinta. Cinta yang hangat, namun mencairkan. Tidak butuh waktu lama bagi Tja untuk memahami hal ini, karena komentar Lara selalu pedas dan sinis, saat pembicaraan mereka menyentuh topik cinta.

Sedang Florian, selalu berada di awang-awang. Saat berkumpul bertiga, hanya dia yang selalu terasa jauh. Tubuhnya ada bersama, namun jiwanya melayang bebas entah ke mana. Lara sering menegurnya, menariknya kembali dari entah dunia apa yang dikunjunginya saat itu. Dia tidak pernah berkata apapun, apalagi pada saat membicarakan cinta. Setelah ditarik kembali pun, Florian tidak segan untuk lari lagi ke dunai transendentalnya. Tja merasa, dia dengan sengaja dan sukarela menghindari topik tersebut. Entah memang tidak tertarik, atau pernah terluka. Seperti sekarang. Lara langsung sinis, tetapi Florian memalingkan muka dan menatap langit-langit kafe yang muram. Semuram mendung yang kini berubah gerimis di luar sana.

"Pernah atau tidak?" tanya Tja, diletakkannya botol bir kosong itu di hadapan Florian, mengambil kembali semua fokus yang entah terbang kemana sedari tadi.

**

Bibir Florian bergetar, mata Tja kini lurus menantang matanya. Mata yang mengerjap-ngerjap cepat,seperti kesadaran lelaki itu juga yang mengerjap antara ada dan tiada. Lelaki itu tidak sadar, bahwa tangan Florian yang kini menggenggam cangkir kopi dinginnya gemetar. Kakinya bergoyang resah di bawah meja, mencoba meredakan perut yang tiba-tiba kontraksi. Mata lelaki itu, mata Tja, seperti menghidupkan seribu kupu yang sedari tadi coba ia bunuh di dalam perutnya. Kini kupu-kupu itu terbang, bebas menjelajahi tubuhnya, menyebar getar dan rasa tidak tenang yang ia benci. Kupu itu menyumbat aliran menuju otaknya, menghambat proses berpikirnya, mengalihkan seluruh darah ke jantungnya, yang kini harus bekerja keras memompa. Kupu-kupu di dadanya menyesakkan nafas, ia harus berjuang, bahkan hanya untuk mendapat oksigen. Kupu yang berontak ingin keluar dari bibirnya, mati-matian ia tahan. Supaya Tja tidak melihat senyum kakunya, supaya Tja tidak merasa kepak bahagia dari seribu kupu, jelmaan dari rasa cinta yang mati-matian coba ia represi.

Keparat kau, Tja! umpatnya dalam hati.

Ketika ia rasa lapisan tipis bibirnya tak sanggup menahan kepak sayap dari seribu kupu, ditenggaknya kopi dingin di hadapannya. Kopi yang sedari tadi menerima getar dari tangannya, kopi yang ampasnya kini mengambang tidak mengendap. Florian terbatuk, kali ini bukan karena asap rokok Lara yang tidak bisa mengantarnya ke dunia transendental. Dalam setiap batuknya, keluar kupu-kupu kasat mata, yang terbang sesaat sebelum lebur dengan udara. Kupu-kupu yang mati karena menikmat kafein, bukan madu bunga. Tumpahan kopi saat Florian terbatuk, mengenai bajunya dan membentuk pola kupu-kupu. Kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tidak lebur, karena ia memilih ada bersama Florian ketimbang lari ke udara.

Tja terkejut, mabuknya hilang seketika. Lara langsung mendampratnya, menuduhnya membuat Florian terkejut, sampai tersedak dan menumpahkan kopi, dan lihat kini bajunya pun kotor. Tja yang serius membantah, mengatakan itu bukan salahnya, dan menambah pitam Lara, yang kemudian mengantar mereka pada adu mulut yang mengundang berpasang-pasang mata untuk menonton. Florian mentap pada kupu-kupu hitam, satu-satunya yang tersisa pada dirinya, dan bergumam pelan,

"Pernah".

Tidak ada komentar: