Sela

Aku lihat.

Kamu ada di sana sendirian. Seperti kalau aku melihatmu di tempat-tempat lainnya, kamu selalu saja berbeda, tampak mencolok dibandingkan orang lain di sekitarmu. Tanpa ada maksud menyinggung atau melukaimu sedikitpun, tapi kamu selalu tampak paling lusuh dan kucel. Cahayamu selalu tampak sebagai yang paling redup di antara yang lainnya, tetapi entah bagaimana caranya justru mataku selalu saja menemukanmu, dan menolak berpindah lagi.

Aku masih melihat.

Kamu yang tak sadar, dan masih tetap sendirian. Matamu terfokus hanya pada buku filsafat yang tengah kamu baca itu, seperti mataku yang masih terfokus pada sosokmu di sana. Rasanya lucu, mengingat kita berdua sama tenggelam dalam hal-hal yang bagi orang lain membosankan. Kamu dengan buku filsafat yang rasanya lebih cocok untuk mengganjal pintu ketimbang menjadi bacaan. Aku dengan kamu, yang kata mereka seperti sisi gelap matahari, tak terlihat dan tak tersadari. Aneh, dan aku menyukainya.

Aku terus melihat.

Kamu yang katanya tak seberapa itu. Memang kamu boleh menjadi sisi gelap matahari, yang tak akan dilirik oleh orang-orang, tapi aku selalu merasa nyaman tiap memandangmu. Kamu, berbeda dengan sisi terang matahari, membuatku merasa teduh. Cahayamu memang sedikit, nyaris mendekati tiada, dan mataku akan terus mencarimu yang seperti itu. Karena dengan dirimu yang seperti itu, aku belajar menikmati tanpa harus terluka. Cahaya yang terlalu terang bila lama dipandang, dapat menimbulkan luka pada mata. Kamu, ya, kamu. Dengan cahayamu yang pas-pasan saja, sudah menjadi titik ternyaman bagi mataku untuk memandang.

Aku tetap melihat.

Melalui sela yang hanya 5 cm, sudah cukup untuk memuaskan inginku. Dari balik buku-buku yang berjejer rapi, sambil pura-pura mencari sesuatu. Aku menikmatimu, yang suram, yang lusuh, yang tak pernah sadar.

Sampai nanti kamu mengangkat kepalamu, kembali menjejak tanah.

Sampai nanti kamu sadar, menatapku penuh tanya.

Sampai nanti.

Aku akan melihat.

Tidak ada komentar: