Nyanyian Sumbang

Malam ini kau menyanyi lagi, mengisi gelap dan sunyi dengan nada-nada sumbang itu. Mulutmu tak henti bergerak, telingaku tak bisa berhenti mendengar. Sejujurnya aku tak ingin mendengar suaramu saat ini. Hariku tak enak, pikiranku kalut. Dan nyanyianmu membaurkan keduanya jadi malapetaka. Tapi kita hanya berdua, dan telingaku tak bisa tuli mendadak. Terpaksa kudengar nyanyianmu, tentang hidup dan ajal.

**
Hidup adalah musuh, katamu. Dia menjebakmu dalam lingkaran setan, memutarmu dalam derita dan duka. Diserapnya semua kegembiraan dari matamu, menarik mulutmu terus kebawah, sampai kau lupa apa itu senyuman.

"Dunia ini begitu hitam, sayang. Tak ada warna yang menyegarkan mataku. Begitu gelap, begitu kelam" bisikmu lirih, mengawali bait-bait panjang nyanyianmu hari ini.

"Entah duniamu yang memang hitam semua, atau kamu yang mendadak buta sekarang." balasku datar, "Kita tinggal di dunia yang sama. Mataku dapat melihat warna. Orang lain dapat melihat warna juga. Kalau kamu hanya melihat hitam, tandanya kamu adalah orang buta.".

"Alam ini juga alam yang jahat, sayang. Tidak ada hal baik yang bisa terjadi di atasnya. Semua bunga tumbuh untuk layu, dan burung-burung menyuarakan kematian. Orang hidup di atas tanah, dan menyiramkan darah untuk diserapnya. Kita berdiri di atas tanah darah, bukti kebuasan makhluk-makluk yang hidup di atasnya. Aku takut, sayang. Aku takut. Menakutkan sekali berada di sini.".

"Kita bisa pindah kalau kamu mau. Beritahu aku, tempat mana di atas muka bumi ini yang menurutmu bukan tanah darah? Ke ujung duniapun akan kuantar bila kamu mau.".

"Tidak ada, sayang, tidak ada. Semua yang ada di muka bumi ini telah ternoda darah. Manusia menyiramkan darah ke semua tempat. Menakutkan, sungguh menakutkan. Dalam darah tersimpan duka dan kesedihan, ketakutan dan kegelisahan. Sekarang semuanya menyebar di atas muka bumi ini. Semua tempat meluapkan bau sedih dan takut, bau duka dan gelisah. Menakutkan sayang, sungguh menakutkan.".

"Oh? Baumu pun bau duka dan ketakutan, kesedihan dan kegelisahan. Apalagi yang kamu takutkan? Tak ada lagi, seharusnya. Tak ada."

"Aku takut, sayang, aku takut. Kalau kelak aku tak bisa menyanyi lagi untukmu seperti saat ini. Menyanyikan perasaanku, supaya kamu bisa mengerti, supaya kamu paham. Hidup telah mengambil segalanya dariku, kemudian mengisi kekosonganku dengan segala macam duka. Hanya nyanyian ini yang tersisa untukku, kebahagiaan kecilku satu-satunya. Dan akan terus kubagi untukmu, sayangku.".

Dia melanjutkan bernyanyi, memecah malam dengan suara tinggi menyayat. Melankoli adalah nadanya, dan duka lirik yang mengisinya. Aku harus mendengarkannya, karena kami hanya berdua. Ia benci menyanyi sendiri tanpa pendengar. Oh, betapa aku ingin menjadi tuli saat ini. Tak tahukah penyanyi satu ini, bahwa sebenarnya hidup telah mengambil nyanyian juga dari dirinya, dan menggantinya dengan nada-nada sumbang?

**
Ajal adalah teman, katamu. Karena kepadanya hidup memberikan apa yang diambilnya, dan dia tak keberatan mengembalikan mereka padamu. Menjadikan dirimu seperti semula tanpa meminta apapun. Sungguh ajal yang murah hati. Hanya saja sayang, dia begitu sulit untuk ditemui.

"Tahukah kamu, sayang? Ajal sebenarnya membenci hidup. Kau tak akan bisa menemui mereka bersama-sama, karena mereka akan saling bertengkar satu sama lain. Bila kau bersama ajal, hidup tak akan mengusikmu. Bila kau bersama hidup, ajal tak akan mendatangimu. Tapi dibanding hidup, ajal sungguh teman yang baik sekali. Dia tidak menuntut untuk mengubahmu, berbeda dengan hidup." nyanyimu, dengan nada yang semakin sumbang.

"Mengapa kamu tidak mencari dia kalau memang dia begitu baik? Mengapa kamu bertahan bersama hidup, kalau dia begitu jahat?" kataku mulai kesal, "Cari dan temuilah ajal, kalau itu bisa membuatmu senang.". (Dan menghilangkan nyanyian sumbangmu dari telingaku, selamanya).

"Aku takut, sayang, aku takut." balasmu, "Hidup terlalu kejam. Dia menahanku untuk tidak mencari ajal. Lewat orang di sekitarku, lewat ajaran agamaku, bahkan... terkadang lewat kamu juga, sayangku. Padahal aku ingin bertemu ajal, sungguh ingin.".

"Pengecut. Memang kamu saja yang takut! Kalau kamu berani dan memang mencari ajal, pasti kamu sudah ada bersama dia sekarang! Berhenti menyalahkan hidup!" bentakku, "Sekarang ayo kita cari ajal! Kutemani kalau perlu!". (Supaya kamu tidak bernyanyi sumbang lagi).

"Hidup tidak adil, sayangku, hidup sungguh tidak adil. Mengapa ada orang yang langsung ditemui ajal dan bersama dengannya tanpa perlu mengenal hidup. Mengapa bukan aku saja yang seperti itu? Mengapa aku harus bersama hidup tanpa pernah mengenal ajal? Tidak adil, sungguh tidak adil!" dia terus bernyanyi seolah tak pernah mendengarku, nadanya semakin lama semakin sumbang. Telingaku semakin sakit. Nyanyiannya bertambah kencang. Malam semakin terkoyak. Telingaku semakin sakit. Semakin sakit. Sakit sekali.

"Aku ingin bertemu ajal." lirik terakhir dinyanyikan, dan dia melengos pergi ke dalam kamar. Aku masih terduduk lemas di beranda. Telingaku sakit, kepalaku sakit, dan kupikir moralku mulai sakit juga, Aku terlalu lama mendengar nyanyian ini, dan nada-nada sumbang itu perlahan merusak isi kepalaku. Aku tak tahan lagi, aku tak mau dirusak lebih jauh dari ini. Sebelum aku juga mulai bernyanyi dengan suara sumbang, lebih baik aku membuatnya tak bisa bernyanyi lagi. Selamanya.

**
Malam itu ajal datang berkunjung. Dia berjalan pelan melewati diriku, dan orang-orang kampung kami yang tengah panik. Api besar yang melalap rumahku seolah bukan halangan baginya. Aku dapat melihatnya berjalan masuk, menuju kamar tidur kami, membangunkan penyanyiku, dan mengajaknya pergi. Mereka berjalan menembus api dan puing-puing bangunan, dan menghilang ke balik malam. Menyisakan sunyi, di tengah keriuhan orang yang mencoba memadamkan api.

Tetanggaku menghampiriku sambil menangis, dia turut berduka untuk temanku yang tak sempat keluar rumah karena tertidur lelap. Api terlalu besar untuk diterobos, tak ada yang bisa menyelamatkan. Temanku telah hangus, telah tewas, telah tiada.

Aku tersenyum dan menenangkan ibu tua itu, mengatakan tak ada yang perlu ditangisi. Penyanyiku sebenarnya telah diselamatkan, oleh ajal. Dia tak perlu sedih, tak perlu berduka. Malah seharusnya dia bergembira.

Tak akan ada lagi orang yang menyanyi dengan nada-nada sumbang.

Tidak ada komentar: