Saya ingin berterimakasih untuk sosok yang mereka sebut sebagai Tuhan. Karena saya pikir hidup bisa jauh lebih menekan bila tidak ada sosok yang bisa dimaki ataupun disalah-salahkan saat tidak ada lagi yang bisa disalahkan. Rupanya saya tidak tahu, bagaimana dia saya tidak mengenal, tapi dia sangat menyenangkan untuk ditimpakan semua kesalahan saat saya tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan keajaiban semesta. Kata orang dia yang empunya semesta. Semesta kemudian menyiksa saya dengan kejutan kecil yang seharusnya menyenangkan, tapi karena ditumpuk pada satu saat yang sama, malah berubah menekan. Kata mereka saya harusnya bersyukur, dengan begitu banyak kebahagiaan yang ditawarkan pada saya. Tapi semua dalam waktu bersamaan. Saya tidak bisa menikmati, saya harus memutuskan.

Padahal saya ingin mencicip semua, saya ingin sungguh senang. Tapi hidup adalah siksaan yang dilegalkan. Saya benci. Saya ingin marah. Saya ingin menuntut. Mengapa saat siksaan dan kesedihan, bisa dia berikan dalam waktu cepat dan berturut, dari satu hari ke hari lain. Semuanya saya cicipi, semua saya coba, duka saya menumpuk. Tapi giliran saya ingin bersenang hati, semua ditumpuk dalam satu momen yang sama, saya tak bisa bersenang sebanyak yang diberikan, tapi saya harus memilih satu. Satu saja dari sekian banyak. Sedangkan derita saya tak  bisa memilih, tapi langsung diberi semua pada saya. Saya ingin marah. Saya benci, sungguh. Tapi saya tak tahu marah pada siapa. Karena itu saya marah pada Tuhan. Maaf. Tapi saya sungguh marah.

Tidak ada komentar: