Jangan Bilang Siapa-Siapa (Biarkan Saja)

"Gue mau curhat." kata Mita suatu siang.

Lara tersenyum kecil. "Oya? Lu kenapa, Mit?" sahutnya basa basi, biarpun dia sudah tahu apa yang akan Mita ceritakan.

"Soal Dipta." kata Mita dengan suara pelan, sesekali menengok ke kiri kanan, memastikan tak ada seorangpun yang mencuri dengar percakapannya dengna Lara. "Sempah deh, Ra, Gue kesel banget pas ketemu dia kemaren!".

Senyum Lara sedikit melebar. "Kenapa lagi Dipta, Mit? Kok lo bisa-bisanya kesel sama dia, ya? Perasaan gue nggak liat dia di kampus belakangan ini deh.".

Mita mendengus kesal, “Ya karena lo nggak liat, gak berarti dia gak bikin kesel gw kan, Ra! Lo denger dulu cerita gue!”.

Lara, masih tersenyum, mengangguk patuh dan duduk tenang siap mendengarkan. Dari mulut Mita meluncurlah sebuah cerita tentang dirinya dan Dipta, keluh kesah, sumpah serapah, hinaan, dan segala jenis kata yang bisa dikeluarkan seorang yang sedang emosi. Tapi, kemarahan Mita tidak pernah mencapai Lara, karena selama dia berceloteh, kawannya itu sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

**

“Jujur aja, ya. Gue gak pernah ngerti kenapa lu bisa tahan banget temenan sama Mita.” kata salah seorang temannya,”Apa sih rahasia lu, Ra?”.

“Rahasia apa ya?” tanya Lara berpura-pura bodoh,”Nggak ada rahasia apa-apa kok.”.

Temannya tertawa sinis. “Gak mungkin gak ada rahasia, Ra. You’re the only one who strong enough to face her. Lu gak sadar apa, pas kita lagi ngumpul, dan Mita dateng nyamperin lu, kita semua langsung mencar ninggalin lu dan dia. She got problems, man!”.

Lara diam sesaat, lalu berkata,”I know she got problems. Dan gue juga sadar banget kok lu semua langsung cabut begitu dia dateng. Tenang aja, gue tau lu semua benci dia. I’m fine with it. Gue Cuma menyayangkan aja betapa lu semua melewatkan kesempatan untuk sesuatu yang menarik.”.

Mendengar jawaban Lara, teman itu terdiam. Dia tampak memikirkan sesuatu, sementara Lara tersenyum-senyum sendiri mengingat setiap “keunikkan” Mita. Lara sadar betul betapa mengganggunya Mita bagi semua orang. Gadis itu benar-benar egois, berisik, dan sombong. Dia tidak mau kalah dari semua orang, dan merasa harus selalu menang dari mereka, entah dalam bidang apapun. Semua orang yang telah cukup lama menghabiskan waktu dengannya, perlahan satu persatu akan mundur menjauh. Kalaupun ada sedikit yang masih tahan ada di dekatnya, itu juga Cuma mencari bahan tertawaan atau topik untuk sesi gosip. Cerita tentang Mita selalu diminati banyak orang, saking “unik”nya dia. Lara termasuk salah seorang di kategori ini.

Saat semua temannya pergi menjauh, Lara malah ada di dekat Mita. Baginya, daripada mendengar dari orang lain (yang mungkin melebihkan kejadian sebenarnya), lebih baik dia dengar dan alami sendiri “keunikan” Mita. Semua kebodohan, ketololan, dan keanehan yang bisa Mita lakukan, biarlah dia yang jadi penikmat pertamanya. Biar dia yang paling pertama menertawakan, paling pertama membodoh-bodohi (biarpun dalam hati), paling pertama mengalami, sebelum dia bagikan ceritanya pada orang lain, yang mungkin akan dia tambah-tambahi ceritanya agar semakin menarik. Hampir semua temannya memandang Mita sebagai “gangguan”, dan karena itu mereka akan langsung pergi ketika Mita datang. Tapi, bagi Lara, Mita itu “hiburan”, karena itu dia bertahan, supaya setidaknya hari itu dia bisa tertawa. Juga mensyukuri kenyataan bahwa masih ada makhluk yang jauh lebih bodoh dan menyedihkan daripada dia.

“Gue masih gak ngerti, Ra.” kata temannya,”Gue akuin semua gosip tentang dia itu menarik. Tapi itu kalo didenger dari orang lain. Tapi kalo harus gue alamin sendiri, gue gak yakin masih bisa hidup ato nggak.”.

“Itu karena lu gak mau mencoba menikmati.” Kata Lara santai,”Kalo lu udah tau kebenaran dari semua ceritanya, dan lu mau mencoba menikmati sedikit aja, gue jamin lu gak akan bisa nahan ketawa kalo lagi sama Mita.”.

Temannya tertawa kecil. “You’re insane, Ra. Gue gak akan pernah ngerti jalan pikir lo yang ajaib. Siksaan gitu lu suruh gue nikmatin. Lewatin mayat gue dulu. Tapi ya terserah lu sih. Tanpa orang kayak lu, kita akan kekurangan banget gosip tentang Mita. Silakan nikmaitn saja dia.”.

“Pasti kok.” Lara tersenyum manis, memang dia tidak pernah berniat untuk menjauhi Mita, “Lu gak perlu khawatir. Gue akan tetep ngedengerin dia, dan kalo ada yang lucu gue gak akan lupa ngasih tau ke kalian. Santai aja.”.

Temannya tertawa terbahak-bahak. “Bangsat, bangsat! Emang brengsek ya lu, Ra!” katanya di sela tawa, “Sip lah, gue percaya sama lu! Inget, cerita lu selalu kita tunggu loh!”.

“Jangan khawatir.” Kata Lara, “Kita semua akan terus terhibur kok selama ada Mita.”.

**

“… jadi gitu ceritanya, Ra! Brengsek kan Dipta, iiiiiiih!!! Kesel banget deh gue sumpah!” ujar Mita penuh emosi, matanya mulai berkaca-kaca, “Kesel banget sampe mau nangis, Ra!”.

Lara, tidak mendengar apapun sama sekali, mencoba terlihat simpatik dengan mengucapkan, “Sabar, Mit, sabar. Kalo emang kesel ya nangis aja. Nggak papa kok.”.

Dan memang kemudian airmata mengalir deras di pipi Mita. Seperti ritual yang selalu terjadi, Mita akan menceritakan ulang apa yang dia alami, namun kali ini semakin didramatisir dan ditambah isak tangis serta aksi berlebihan yang biasa orang temukan di dalam sinetron. Lara akan terus berlaku simpatik, biar dia tak sedikitpun peduli. Dia cukup mendengar, mencatat poin penting dan aneh dari cerita itu, sambil menahan tawa sekuat tenaga. Setelah sesi dramatis tersebut, Mita mulai tenang sedikit, dan kemudian pamit pulang pada Lara, ada urusan penting katanya. Masih pura-pura simpatik, Lara akan menepuk pundak Mita, mengatakan segalanya akan baik-baik saja.

Thanks, Ra! Lo emang sahabat terbaik gue.” Ujar Mita dengan penuh terimakasih, “Btw, please banget jangan sampe cerita ini kesebar ya. Gue malu banget soalnya nangis gara-gara Dipta.”. Lara akan mengangguk sambil tersenyum, melambaikan tangan dan menyaksikan Mita pergi entah kemana. Setelah Mita benar-benar menghilang, Lara akan melepas tawa yang ditahannya sejak tadi.

“Ya kali, oy! Yakin lu malu karena nangisin Dipta? Hahahaha!” batinnya, sambil mengontrol dirinya agar tidak tertawa terlalu keras,”Kenapa gak bilang aja sih, ‘Gue malu soalnya yang gue certain ke lu itu bohong semua, Lar. Kejadian itu gak pernah ada. Gue Cuma lagi pengen bersandiwara aja.’. Hahahaha! Aduh, Mit! Kocak banget sih lu!”.

Mita tidak tahu, kalau selama dia ‘ketemuan dan berantem sama Dipta’ kemarin, Lara sedang ada di rumah sakit menjenguk Dipta, yang sudah kurang lebih tiga hari opname karena demam berdarah. Lara benar-benar salut pada Mita, yang bisa bertemu dengan Dipta di kantin fakultas, sementara anaknya saja tidak boleh pergi kuliah selama seminggu. Mita pikir Lara tidak tahu Dipta, padahal sebenarnya mereka berdua teman akrab sejak SMA. Tapi Lara tidak pernah bilang, dia takut akan kehilangan ‘hiburan’ dari cerita-cerita imajinatif Mita nanti. Lara tahu betul, semua curhat Mita tentang Dipta itu bohong belaka dan berlebihan dari kenyataan sebenarnya. Karena itulah dia tidak pernah menanggapi serius, dan mendengar sambil menahan tawa. Imajinasi inilah yang kemudian akan Lara tertawakan bersama Dipta dan teman-teman lainnya.

Handphonenya kemudian berbunyi, teman-teman Lara sudah menunggu untuk mendengar gosip baru yang didapatnya hari ini. Lara membereskan barang-barangya, kemudian pergi menuju tempat teman-temannya menunggu. Dia tidak sabar untuk tertawa keras hari ini.

Jakarta, 4 Maret 2012

Ini saya benar tertawa, terimakasih untuk naskah dramamu.

Tidak ada komentar: